BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Masalah
Indonesia
merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke. Penyebaran
penduduk inilah yang menjadikan masing-masing suku atau daerah memiliki
adat istiadat yang beraneka ragam. Keanekaragaman inilah yang menunjukkan ciri
khas kedaerahan. Indonesia juga dikenal sebagai negara
yang kaya akan adat-istiadat. Melalui adat-istiadat dan budaya negara ini makin
dikenal oleh dunia. Salah satu daerah yang kaya dengan budaya, adat-istiadat
adalah Maluku.
Salah satu ciri
khas yang dimiliki oleh masyarakat Maluku sebagai wilayah hukum adat adalah
terdapat berbagai pranata kebudayaan yang disepakati oleh para leluhur dan
terus dipraktekkan atau dilaksanakan
turun temurun oleh generasi penerusnya yang berdiam dan menetap pada
Negeri dan Desa. Dari Negeri-Negeri atau Desa-Desa pada bumi seribu pulau ini, dapat
dilihat pranata adat pada Negeri Kamarian
Kamarian merupakan
Negeri adat yang terletak pada belahan bumi Indonesia bagian timur, yaitu pada
kawasan Kabupaten Seram Bagian Barat Kecamatan Kairatu. Negeri ini sangat
strategi melihat pada letaknya, bersebelahan dengan pulau Ambon yang dibatasi
oleh lautan. Negeri Kamarian memiliki pranata-pranata kebudayaan yang memperkaya
dan menggambarkan kepribadian luhur rakyatnya. Salah satu pranata dari
kebudayaan itu adalah wariwaa yang
mengatur nilai-nilai tertentu atau lembaga Kekeluargaan. Wariwaa merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang diwariskan
oleh para leluhur nenek moyang kepada anak cucu untuk membentuk karakteristik
dan mengikat masyarakat Kamarian. Wariwaa
dalam bahasa Kamarian diartikan sebagai “adik-kakak”.
Wariwaa
sebagai sebuah pranata adat hingga saat ini memiliki peran yang sangat
mempengaruhi lingkungan sosial komunitas Kamarian secara signifikan. Ikatan
kekerabatan clan atau matarumah ini
hanya ada di Kamarian karena selain berdasarkan kisah historis berupa mitos
yang dianggap oleh komunitas setempat sebagai sebuah pranata adat yang sakral,
ikatan antar clan ini juga menjadi pengatur yang berfungsi menata kehidupan
masyarakat agar saling menghargai dan menjaga kebersamaan. Kehidupan mereka
tidak boleh melanggar tata cara maupun aturan yang telah disepakati sejak
diangkatnya dua atau lebih lingkup kekerabatan genealogis sebagai pengemban
tradisi wariwaa tersebut. Hubungan
persaudaraan kosmologis antar fam (matarumah) Ini yang mengikat lingkungan
sosial setempat, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam hal adat yang
ada. Secara khusus ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu
subjek. Dalam hubungan persaudaraan yang disebut wariwaa ini, terdapat faktor-faktor yang mengikat. Berbagai faktor
tersebut dilihat dari berbagai segi, seperti antara lain dari segi agama,
ekonomi dan juga sejarah. Dari segi agama, wariwaa
dilihat sebagai suatu keharusan yang wajib dilakukan sebagai sebuah bentuk
penghormatan terhadap adat yang tidak pernah terlepas dari agama. Sebagaimana
agama Kristen yang mengenal Hukum Taurat, begitu pula dengan komunitas setempat
menjadikan pranata wariwaa seperti
halnya mereka mentaati sepuluh firman itu. Dilihat dari segi ekonomi, maka wariwaa berperan untuk saling melengkapi
kebutuhan antar warga yang satu dengan warga komunitas lainnya. Artinya bila
dalam kehidupan sehari-hari, saling membutuhkan sesuatu untuk keperluan hidup,
maka sesama warga wariwaa dapat
saling membantu. Mereka juga dapat saling menopang dan saling membantu, jika
hasil kebun harus dijual-belikan untuk mendukung berbagai kebutuhan, seperti
kebutuhan akan uang.
Jika dihubungkan dengan faktor
sejarah, maka bagian inilah yang sangat mengikat hubungan persaudaraan yang
seharusnya dijaga dan dijalankan sesuai aturan-aturan yang ada dalam hal ‘angkat wariwaa’. Narasi yang terjadi
dari dahulu kala membuat komunitas setempat secara turun-temurun menjalankan
berbagai hal yang berkaitan dengan hubungan persaudaraan antar fam (rumahtua
atau matarumah), faktor ini yang mengikat hubungan persaudaraan antar fam
(matarumah), yaitu kesepakatan
bersama untuk melestarikan nilai-nilai budaya wariwaa sebagaimana mestinya, sehingga terdapat nila-nilai sejarah
dari para leluhur yang kemudian dapat dijaga dengan baik, dihargai oleh
komunitas setempat sebagai unsur-unsur budaya yang historis, yang bermanfaat
bagi kehidupan bersama.
Jadi pranata berupa ikatan wariwaa menjadi hal yang prinsip dan
harus dijalankan oleh setiap orang. Hubungan clan atau matarumah dalam ikatan wariwaa
tidak boleh sampai melakukan ikatan perkawinan.
Hal ini karena telah disepakati pada saat “angkat
wariwaa”, bahwa antara fam (matarumah)
tersebut telah ada ikatan atau hubungan persaudaraan (adik-kakak). Oleh sebab itu dilarang untuk melakukan perkawinan
antar fam (matarumah) yang terikat dalam pranata adat ini. Jika terjadi
pelanggaran atas hal itu, kedua pihak yang melanggar akan ditimpa malapetaka
dalam keluarga dan menimpa keturunan yang berakibat fatal. Jika dalam kehidupan
sehari-hari, segala hal dalam bentuk apapun yang diminta oleh sesama warga wariwaa harus diberikan. Jika tidak
diberikan, maka benda atau barang yang diminta akan hilang, rusak dan lenyap.
Hubungan persaudaraan wariwaa ini mesti dijaga oleh komunitas
setempat, sehingga diketahui dan dijalankan oleh anak cucu turun-temurun.
Adanya pranata ini juga menjadikan relasi antara individu yang satu dengan
individu yang lain terjalin dengan baik. Hubungan antar fam (matarumah) yang ada dalam ikatan wariwaa juga memiliki pengaruh tersendiri bagi kehidupan warga
setempat di wilayah ini, karena mereka merasa bahwa kehidupan mereka dengan sesama,
khususnya dalam ikatan wariwaa
(saudara) harus dijalani dengan baik sesuai dengan janji yang telah disepakati.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut juga menjadi bagian yang tetap diingat, bahkan
harus tetap dilakukan oleh setiap orang sampai pada keturunan yang ada. Pranata
adat ini juga berperan mempererat hubungan kekeluargaan serta kebersamaan yang
tidak hanya menjadi hal yang harus ditaati sebagai peraturan dalam adat
istiadat setempat, akan tetapi dapat bermanfaat bagi generasi penerus untuk
dijaga dan dilakukan.
Pada
semua lapisan masyarakat baik maju maupun yang sederhana, kita dapat menemukan
adanya kesatuan-kesatuan sosial, yaitu kelompok-kelompok yang anggotanya merasa
satu dengan sesamanya. Di dalam masyarakat, terdapat kesatuan sosial yang mencirikan
hubungan yang terjalin dalam masyarakat itu sendiri. Wariwaa dapat digolongkan dalam kesatuan genealogis atau kesatuan
tunggal darah. Kesatuan genealogis terbentuk karena anggota disatukan oleh
persamaan darah atau keturunan. Kesatuan genealogis terdiri dari keluarga batih
(somah), keluarga luas (extended family) atau keluarga besar (kerabat), suku
dan clan.[1]
Terbentuknya wariwaa mengarah pada konteks kesatuan genealogis, dan tentu dalam
proses membangun hidup setiap hari masyarakat
memiliki pandangan hidup. Bagi masyarakat pendukung suatu kebudayaan,
suatu sistem nilai budaya sering dijadikan pandangan hidup. Dengan pandangan
hidup suatu masyarakat berisi sebagian besar dari nilai-nilai yang telah
terpilih, yang dianut oleh individu atau sebagian dari masyarakat tersebut.
Contoh peranan wariwaa di Negeri Kamarian apabila terjadi perkawinan antara fam (Matarumah) Kainama (keluarga perempuan) dan fam (matarumah)
Pariama (keluarga laki-laki), menurut adat Negeri Kamarian maka Wariwaa dari fam (matarumah) Pariama adalah fam
(Matarumah) Putirulan, dan dalam hal
ini yang menjadi kakak dari fam (matarumah)
Pariama adalah fam (matarumah) Putirulan, dengan demikian
yang melaksanakan tradisi atau adat Wai
Aini (putar kaki) adalah fam (matarumah)
Putirulan, sebab fam (matarumah)
Putirulan adalah kakak dari fam (matarumah)
Pariama.
Apabila terjadi perkawinan
antara Fam Tupanwael (keluarga
perempuan) dengan fam (matarumah)
Pesireron (keluarga laki-laki), menurut adat Negeri kamarian Wariwaa dari fam
(Matarumah) Tupanwael adalah fam
(Matarumah) Kainama, dengan demikian yang melakukan tradisi adat perkawinan
Wai Aini adalah fam (matarumah) Kainama adalah kakak dari fam (matarumah) Tupanwael
Berdasarkan observasi awal
realita yang terjadi sekarang di Negeri Kamarian tidak relevan dengan apa yang
diharapkan. Di mana telah terjadinya pergeseran terhadap adat Wariwaa yaitu perkawinan antar wariwaa antara fam-fam
tertentu. Perkawinan ini terjadi karena ada beberapa hal yang mendasari
terjadinya kawin antar wariwaa di antaranya
a)
Begitu dalamnya cinta, kasih dan sayang yang mengikat kedua
pasangan laki-laki dan perempuan sebagai pasangan sejati.
b)
Proses generalisasi atau melanjutkan cerita-cerita budaya
yang bermakna dari tua adat kepada generasi penerus mulai hilang.
c)
Pengaruh sekularisasi dan modernisasi yang sarat dengan
tawaran nilai-nilai modern mempengaruhi seluruh bidang kehidupan termasuk adat
istiadat.
d)
Karena wanita telah hamil sehingga menuntut pertanggung jawaban
dari pihak laki untuk segera menikah.
e)
Karena rasa suka sama suka membentuk sebua perkawinan
f)
Adanya dorongan dari satu pihak baik pihak laki-laki maupun
perempuan karena dasar kecantikan dan kekayaan.
Di antara masalah-masalah sehingga
terjadinya “kawin antar wariwaa” yang
telah tersebutkan di atas. Penulis hanya ingin membahas mengenai “kawin Antar wariwaa” Pada pasangan
(Tuaputimain-Tomatala Usia tiga puluh tujuh dan tiga puluh empat tahun, usia
perkawinan tiga belas tahun) dan Pasangan (Pariama-Putirulan usia tiga puluh
tiga dan tiga puluh dua tahun, usia perkawinan sembilan tahun) disebabkan oleh
begitu dalamnya cinta kasih dan sayang yang mengikat kedua pasangan laki-laki
dan perempuan di Negeri Kamarian. Di mana pasangan “kawin antar wariwaa” hanya cenderung untuk mengekspresikan cinta
kasih dan sayang tanpa melihat sisi lain yang seharunya tidak adanya perkawinan
mereka, hal ini karena adanya adat yang mengatur mereka berdua sebagai hubungan
tali persaudaraan dan kekeluargaan. Menurut mereka karena sangking cinta dan
mengingat sebagai manusia normal, sehingga tidak memperdulikan apa yang akan
terjadi.[2] Akibat dari “kawin antar wariwaa” sehingga
menggoncangkan kehidupan Rumah tangga. Ada beberapa akibat dari terjadinya “kawin antar wariwaa” diantaranya tidak memiliki anak, anak cacat, salah satu
diantara pasangan suami istri mengalami kesakitan dan juga terjadi kematian
pada anak. Fenomena inilah yang membuat
pasangan “kawin antar wariwaa”
mengalami frustasi, stres dan cemas terhadap kejadian dimaksud. Selain itu juga
sering timbul suatu penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Namun masalah
ini merupakan suatu perilaku
penyimpangan dan pula rasa cinta kasih dan sayang, terkesan juga menjadi
penghambat terhadap adat yang sementara berlangsung dan terlaksana di Negeri
Kamarian
Konteks yang
terlihat belum adanya perhatian yang serius dari pihak gereja, pemerintah dan
adat terhadap “perkawinan antar wariwaa”,
Oleh karena itu terhadap permasalahan “kawin
antar wariwaa” maka perlu mendapat suatu penanganan khusus sehingga
pasangan “kawin antar wariwaa” tidak
berlarut-larut dalam suatu penyesalan pada masalah tersebut yang akan berdampak
pada kesejahteraan keluarga kedepan dan perlu adanya sosialisasi mengingat
kepada generasi yang akan datang dan
adat ini tetap terjaga.
Dari uraian latar
belakang di atas yang menjadi sebuah realita maka penulis sangat terdorong untuk melakukan penelitian ilmiah dengan
judul LOVE AND CULTURE dan sub judul
studi kasus terhadap pasangan kawin
wariwaa di Negeri Kamarian dan implikasi
konseling pastoral,
I.2 Masalah
Penelitian
Bertolak dari latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan pokok yang dibahas yaitu:
1.
Bagaimana pemahaman masyarakat tentang adat wariwaa di Negeri Kamarian?
2.
Bagaimana dampak dari kawin antar
wariwaa di Negeri Kamarian ?
I.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan
penelitian yang hendak dicapai dalam Penelitian ini, untuk melakukan suatu pembahasan
atau mengkaji tentang :
1.
Pemahaman masyarakat tentang adat wariwaa di Negeri Kamarian.
2.
Dampak dari “kawin antara wariwaa” di Negeri Kamarian.
I.4 Kegunaan Penelitian
I.4.1 KegunaanTeoritis
a.
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi
pikir bagi lembaga STAKPN Ambon khususnya jurusan Pastoral Konseling dalam upaya mengembangkan Pelayanan Pastoral Konseling kedepan yang sesuai dengan konteks
masyarakat.
b.
Hasil penelitian ini
dapat memperkaya pengetahuan penulis terkait dengan disiplin ilmu yang sedang
ditekuni penulis.
I.4.2 Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Seluruh
Masyarakat Negeri Kamarian secara khusus
dan juga pembaca secara umum, agar lebih
mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan adat dan seluruh unsur-unsur yang ada dalamnya.
I.5 Definisi Istilah
a)
Kebudayaan merupakan kecendrungan-kecenderungan,
Tingkah laku atau kepercayaan yang dioperkan
pada generasi berikutnya melalui proses belajar.
b)
Kawin adalah suatu
kesatuan antara dua jenis yang berbeda atas dasar saling mencintai
c)
Wariwaa adalah suatu adat
di Negeri Kamarian yang mempersatukan marga-marga tertentu.
d)
Kawin Wariwaa adalah kesatuan
suami istri yang terdiri dari fam-fam tertentu serta memiliki hubungan kekeluargaan, dengan usia
30 tahun sampai 40 tahun. Perkawinan ini merupakan perkawinan yang melanggar
adat
e)
Cinta adalah panduan rasa simpati antara dua
individu lelaki dam perempuan yang akan dan telah bersatu dalam keluarga.
f)
Pastoral adalah serangkaian
tindakan menolong yang dilakukan oleh pribadi-pribadi Kristen yang
representatif, diarahkan kepada penyembuhan, pertolongan, pembimbingan terhadap
orang yang memiliki masalah sampai
mendapat suatu ketuntasan, dimana individu mampu antuk mengatas masalahnya
sendiri.
g)
Matarumah
adalah istilah kekeluargaan dan persaudaraan antara masyarakat yang sama
marganya (fam) yang dari rumah itu terpancar
beberapa keturunan ; misalnya matarumah Tuaputimain,
Tomatala, Kainama, Sahetapy dll.
h)
Clan
sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Makna clan digunakan
secara antropologi sejak permulaan ilmu itu telah membedakan kelompok
kekerabatan yang berdasarkan garis keturunan ibu dari kelompok menurut garis keturunan
ayah.
BAB II
KAJIAN TEORI
II.1 Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata sanskerta buddhayah yaitu bentuk jamak
dari buddhi yaitu budi atau akal dengan demikian ke-budayaa-an dapat diartikan
dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.[3]
Menurut E.B Tylor kebudayaan adalah keseluruhan kompleks, yang
di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan
yang lain, serta kebiasaan yang didapat
manusia sebagai anggota masyarakat. R. Linton menyatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan
hasil laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
Istilah kebudayaan sampai sekarang memiliki
reputasi yang kurang menyenangkan dalam kalangan antropologi, hal ini
dikarenakan banyaknya acuan dan istilah ini yang sering menimbulkan kekaburan
saat dipelajari Tetapi konsep menurut Budi Susanto, menurutnya kebudayaan tidak
memiliki banyak acuan berarti suatu pola makna-makna yang diteruskan secara
historis, terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep-konsep yang
diwariskan serta terungkap dalam
bentuk-bentuk simbolis, denganya manusia berkomunikasi. Dan mengembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.[4]
F.L
Colley mengemukakan pandangannya bahwa kebudayaan mempunyai bentuk yaitu adat
dan tradisi yang diturunkan oleh para leluhur.[5]
Dan Prof. Dr. Koentjaraningrat adalah
Seluruh sistem dan ide serta rasa, tindakan dan kerja yang dihasilkan manusia
dalam masyarakat dan dijadikan miliknya dengan jalan belajar.[6]
Drs. Sidi Gasalba kebudayaan adalah cara berpikir dan yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dalam segolongan manusia yang membentuk kehidupan sosial dalam suatu
ruang dan suatu waktu. Prof M. M
Djojodiguno Kebudayaan atau budaya adalah daya dari budi yang berupa cinta, karsa dan
rasa. Di mana cipta adalah kerinduan
manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya.
Karsa adalah kerinduan manusia untuk
meninsyafi tentang dari mana manusia
sebelum lahir dan kemana manusia sesudah mati. Sedangkan rasa adalah kerinduan
manusia akan keindahan sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati
keindahan dan menolak keburukan atau kejelekan.[7]
Berdasarkan definisi dari beberapa pakar kebudayaan, dapat disimpulkan
bahwa kebudayaan merupakan segala
perilaku, pola pikir, siikap dan tata cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok
komunitas dan telah menjadi suatu kebiasaan serta di turunkan dari leluhur
kepada generasi penerusnya. Kemudian dapat menghasilakn sesuatu terbaik bagi
dirinya sendiri maupun bagi sesama masyarakat
Oleh sebab itu, tugas generasi untuk menjaga dan melestarikan semua asset
yang dapat memperkaya suatu daerah diantaranya Wariwaa sebagai pranata
kekeluargaan, ini merupakan budaya yang diwarisi secara turun temurun,
II.2 Pengertian adat
Secara etimologi kata adat berasal dari Arab yang juga diambil ahli oleh bangsa-bangsa
yang bukan islam di Asia Tenggara sebagai
kata pinjaman, sebagian juga berupa kata pinjaman, sebagian juga dengan sedikit
perubahan. Asal katanya ialah kata kerja ada, jadi adat adalah yang
pertama-tama yang berulang-ulang atau
teratur datang kembali, artinya yang lazim dengan demikian kebiasaan atau
biasa.[8]
Dalam Kamus sosiologi dibilang adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang
telah dikembangkan menjadi norma sosial bagi masyarakat penganutnya. Adat
berasal dari dalam anggota masyarakat serta dijunjung dan dipertahankan. Adat
menjadi pedoman bagi anggota masyarakat
untuk bertingka laku.[9]
Budaya atau kebudayaan yang dimaksudkan adalah adat dalam
kehidupan masyarakat. Adat sebagai peraturan-peraturan dan cara-cara hidup yang
diwariskan oleh tete-nene moyang sejak
dulu kala dan dipegang sampai saat ini.
Adat sebagai peraturan-peraturan dan cara hidup yang diturunkan oleh tete-nene moyang guna mengatur segala
macam hubungan dan kelakuan agar mereka dan anak-anak cucunya dapat hidup tentram,
selamat dan bahagia secara jasmani dan rohani. Adat mengandung nilai-nilai
etika moral yang mengatur kehidupan manusia dan berfungsi sebagai pedoman hidup
suatu masyarakat.[10]
E.P Gintings mendefinisikan bahwa adat adalah hukum-hukum pengaturan
sikap hidup dan perbuatan didalam sikap
hidup seseorang dengan sesamanya satu
suku bangsa berdasarkan nilai-nilai yang berakar dalam tradisi yang diturun
ahlikan dari nenek moyang yang mereka pahami bersikap magis, mistis, animistis, dan segala hukum peraturan
tersebut dipahami sebagai mite yang merupakan peristiwa yang suda terjadi namun belum selesai.[11]
Maksudnya bahwa adat merupakan suatu hukum yang mengatur akan setiap jalannya
kehidupan dan dialihkan oleh leluhur kepada generasinya sampai detik ini.
Menurut
A Screiber memberi perumusan yang tepat bahwa adat sebagai kebiasaan yang
mengatur dengan kokoh segenap kehidupan kesegala segi dan kedalam segalah
hubungan. N Adriani berpendapat
bahwa jalannya dunia yang tak bias dan
tidak harus begitu yang bersifat mutlak yaitu jalannya dunianya sendiri seperti yang diatur dan dipelihara oleh para
leluhur, sehingga orang yang bermaksud
mengadakan perubahan-perubahan, melibatkan diri dalam suatu pertentangan
dengan para leluhur. E. M Loe ahli
etmografi, ia mengatakan adat adalah
kebiasaan yang disahkan oleh leluhur.[12]
Menurut M. Nasroen dengan
bertolak dari sistem adat Minangkabau, maka adat dibagi atas 4 bagian, yaitu:
1. Adat
yang sebenarnya adat. Ini merupakan undang-undang alam. Di mana dan kapan pun
akan tetap sama;
2. Adat
istiadat. Ini adalah peraturan pedoman hidup di seluruh daerah selama ini, dan
diterima oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu agar tetap
berdiri kokoh;
3. Adat
nan teradat. Ini adalah kebiasaan setempat, dan dapat ditambah ataupun dikurang
menurut tempat dan waktu;
4. Adat
yang diadatkan. Ini adalah adat yang dapat dipakai setempat.[13]
Adat adalah suatu sistem nilai
dan kaidah-kaidah sosial yang tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya pengalaman
hidup suatu masyarakat, juga sebagai salah satu unsur utama kebudayaan yang
berakar kuat dalam tata hidupnya.[14] Ditegaskan
juga oleh Koentjaraningrat, bahwa adat adalah wujud ideal dari kebudayaan,
wujud tersebut dapat disebut sebagai adat atau tata kelakuan karena dapat
berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Koentjaraningrat juga membagi adat dalam
empat tingkatan di antaranya:[15] nilai-budaya, sistem norma-norma yang
mencakup nilai-nilai budaya, sistem hukum,
baik hukum adat (hukum yang ada umumnya tak tertulis) maupun hukum tertulis
(misalnya undang-undang), dan aturan-aturan
khusus yang mengatur aktivitas-aktifitas dalam kehidupan masyarakat, karena
itu aturan-aturan khusus ini amat konkret sifatnya dan banyak diantaranya
terkait dengan sistem hukum yang diuraikan sebagai berikut :
·
Pertama,
tingkat nilai budaya. Pada tingkatan ini merupakan
lapisan yang paling abstrak ruang lingkupnya karena berisi tentang ide-ide yang
mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarkat.
Konsepsi seperti ini biasanya luas, kabur dan tidak rasional, namun nilai
budaya ini biasanya berakar pada bagian emosional dari alam jiwa manusia.
Biasanya jumlah nilai budaya pada tingkatan ini tidaklah banyak. [16]
·
Kedua,
tingkat Norma-norma. Norma adalah nilai budaya yang sudah
terikat pada peran-peran tertentu dari manusia dalam masyarakat. Peranan
manusia dalam kehidupan sangat banyak, berbeda-beda dan berubah-ubah. Akan
tetapi dari sisi inilah tiap peranan membawakan sejumlah norma yang kemudian
menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranan yang bersangkutan.[17]
·
Ketiga,
tingkatan Hukum. Pada tingkatan ini lebih konkrit lagi
yakni sistem hukum. Hukum yang
dimaksud adalah hukum adat (tidak tertulis) maupun hukum tertulis yang sudah
jelas terbatas pada ruang lingkupnya. Pada prinsipnya jumlah hukum dalam suatu
masyarakat jauh lebih banyak dari pada norma yang menjadi pedomannya.[18]
·
Keempat,
tingkat Aturan Khusus. Tingkatan aturan khusus ini
mengatur aktivitas-aktivitas yang sangat jelas serta terbatas ruang lingkupnya
dalam kehidupan masyarakat, dan juga aturan ini amat konkret sifatnya, terikat
pada sistem hukum.[19]
Peran adat begitu penting dalam
kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Indonesia, karena di Indonesia
terdapat beraneka ragam suku bangsa dan juga beragam adat. Adat adalah gagasan
kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan,
kelembagaan dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah.[20]
Jika adat tidak dilaksanakan akan terjadi kekacauan yang menimbulkan sanksi
tidak tertulis oleh masyrakat setempat terhadap perilaku yang dianggap
menyimpang.
Berdasarkan definisi yang disampaikan oleh
beberapa para ahli di atas maka dapat disimpulkan melalui kerangka pikir
penulis bahwa adat adalah seperangkat nilai-nilai hidup pada zaman duluh kala dan telah diturunkan
dan dikukuhkan oleh para leluhur kepada generasi penerusnya untuk dilakukan disepanjang
hidupnya sebagai bagian dari kebudayaan
dan dapat membentuk karakter dan kepribadian masyarakat Negeri setempat.
II.3 Hakekat
Perkawinan
Perkawinan
berasal dari asal kata yaitu kawin
Menurut
Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan ikatan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[21] Perkawinan merupakan suatu aktifitas yang mempunyai tujuan tertentu yang benar
diresapi oleh anggota keluarga secara bersama-sama, bukan hanya oleh istri
saja atau suami. Menurut Sarjono
Perkawinan adalah bersatunya dua
orang sebagai suami istri.[22]
Dr
Jhonathan. A. Trisna mengatakan perkawinan harus dijelaskan sendiri oleh pasangan suami istri tanpa campur tangan
orangtua. Hal ini akan membantu setiap pasangan untuk mengembangkan diri dalam kedewasaan berpikir dan bertindak,
mengambil keputusan serta tanggung jawab yang tinggi terhadap lembga perkawinan dalam kasih dan
kebenaran[23]
Pengertian ini terindikasi bahwa dalam perkawinan adanya suatu ikatan
secara lahiriah dan batinia merupakan suatu proses integrasi. Sedangkan ikatan
batiniah adalah ikatan secara psikologis antara suami dan istri, ada ikatan
saling mencintai antara satu dan yang lain. Selanjutnya dalam pengertian
perkawinan diharapkan adanya tujuan dari
perkawinan yaitu untuk membentuk perkawinan yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.[24]
Tujuan ini dimaksudkan agar keluarga yang akan dibentuk harus bahagia dan
bersifat kekal artinya keluarga tersebut dipertahankan seumur hidup. Hubungan
sebuah keluarga yang kita lihat adalah menggambarkan bahwa kehidupan yang harus
dijalani oleh sepasang suami-istri harus memaknai cara hidup sebuah keluarga
yang baik,[25]
Menurut Purwardarmita Perkawinan adalah penjodohan laki-laki dan perempuan
menjadi suami istri.[26]
Maksudnya adalah seseorang perempuan kalaupun ia akan bertemu dengan seorang
laki-laki dan menjalin suatu hubungan dan disatukan dalam suatu keluarga maka
mereka berdua telah dijodohkan.
Berdasarkan teori di atas maka perkawinan
adalah suatu ikatan antara suami istri
yang membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Serta mampu menjawab segala
gejala persoalan yang sementara dilewati dan yang akan datang. Perkawinan
membuat semua manusia atau individu untuk tetap eksis dalam memahami dan
mengerti akan pribadi dan karakter pasangan hidup atau jodohnya mereka, dan hasil sebagai berkat
atau buah dari perkawinan sebagai penerus keturunan.
II.4 Perkawinan Adat
Definisi Perkawinan Menurut Hukum
Adat dikatakan Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua
mempelai, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan
keluarga mereka masing-masing. Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya
merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi
perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya
mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.[27]
Oleh karena itu perkawinan adat bukanlah sesuatu peristiwa yang terjadi karena
suatu kebetulan, akan tetapi melalui proses yang telah diatur dalam keluarga kedua
pasangan dimaksud. Perkawinan adat ini bukan terjadi pada pasangan yang akan kawin ini
saja, namun berlangsung perkawinan adat atas keputusan bersama keluarga dan dihadiri oleh arwa para leluhur atau yang
biasa disebut oleh orang Maluku tete nene moyang dari kedua mempelai.
Hubungan
sebuah keluarga yang kita lihat adalah menggambarkan bahwa kehidupan yang harus
dijalani oleh sepasang suami-istri harus memaknai cara hidup sebuah keluarga
yang baik.[28]
Perkawinan adat merupakan bagian dari kebudayaan setempat dari kebudayan
tersebut memberikan nilai, makna dan norma yang mengatur jalannya kehidupan
adatis dalam masyarakat. Koenjaraningrat mengatakan wujud kebudayaan atau yang
disebut adat tata kelakuan yang mengatur, mengendali, dan memberi arah kepada
perbuatan dan kelakuan manusia dalam masyarakat.[29] Didalam melaksanakan perkawinan adat
terdapat beberapa bentuk di Indonesia, nama dan bentuknya berbeda, namun sifat
yang universal, yaitu dalam tata cara pelaksanaan dan harta kawin. Bentuk dan
tata cara disetiap kampung tidak sama. Perkawinan adat khususnya memiliki
faktor-faktor antara lain : tata cara masyarakat penduduk kebudayaan, tingkat
sosial dalam masyarakat, pergaulan hidup masyarakat, pendidikan dan pengaruh
kebudayaan asing, agama, alam sekitar, maupun situasi kondisi.[30]
Selain bentuk dan tata cara, ada pula syarat
mutlak dalam perkawinan adalah memenuhi tuntutan biologis. Selain itu untuk
memenuhi kebutuhan sosial manusia. Aspek yang perlu diperhatikan lagi yaitu
kematangan jiwa diperhatikan, maka biasanya perkawinan itu mengalami stagnasi
atau luluh hancur berantakan. Dari kehidupan bermasyarakat, tuntutan perkawinan
menghendaki saling kasih-mengasihi, hormat-menghormati, tolong-menolong
terutama pihak kuat terhadap yang lemah.
Berdasarkan pandangan diatas maka perkawinan adat (waiaini) di Negeri Kamarian, dijelaskan
bahwa adat wariwaa sangat berperan
penting, kalaupun tidak hadirnya wariwaa
kegiatan atau acara ini tidak akan terjadi. Karena segala sesuatu yang
bertalian dengan perkawinan adat, diatur dan dipandu oleh wariwaa sebagai saudara atau kakak dari marga atau fam tertentu.
Karena sanksi dari orang yang tidak mengikuti perkawinan adat sangat fatal. Dan
sama halnya apabila terjadinya perkawinan
antara wariwaa, maka hal yang sama
juga berakibat terhadap pasangan ini.
II.5 Konseling
Pastoral Sebagai Proses Membantu
Carl Rogers dalam bukunya Client Centered
Psychoterapy mendefenisikan konseling sebagai
proses yang mengusahakan keseimbangan struktur kepribadian konseli,
dengan menciptakan rasa aman dalam jalinan hubungan yang bersifat manusiawi
dengan konselor dan dengan mengusahakan penerimaan dengan pengalaman masa
lampau yang menyakitkan.[31]
Glen E Smith dalam bukunya Counseling in
the Secondary School mengatakan
konseling sebagai proses dimana konselor
membantu konseli menginterprestasikan fakta yang berhubungan dengan pemilikan,
perencanaan dan penyesuaian diri yang dibutuhkan.[32] Donald H.
Blocher dalam Bukunya Devolopment Counseling mendefinisikan Konseling sebagai
pertolongan kepada seseorang agar dia sadar akan dirinya dan cara-cara
bertingka laku dalam menghadapi pengaruh-pengaruh lingkungan…
Clebsch dan Jaekle berpendapat bahwa pastoral merupakan serangkaian
tindakan menolong yang dilakukan oleh pribadi-pribadi Kristen yang
refresentatif, diarahkan kepada penyembuhan, penopangan, pembimbingan dan pendamaian orang-orang yaag bermasalah
dan masalanya muncul dalam konteks makna dan kepribadian yang utama.[33]
David Gbener dalam bukunya strategi
Pastoral Couseling mengatakan bahwa
Konseling Pastoral merupakan bagian dari pendampingan pastoral (pastoral
care) yang merupakan tanggung jawab pelayanan pastoral (pastoral ministry). Ia
melukiskan kaitan atau batasan antara pelayanan pastoral, pendampingan
pastoral dan konseling Pastoral sebagai berikut
a.
Pelayanan
pastoral mencakup konteks yang lebih
luas dari konseling pastoral yang
meliputi fungsi-fungsi, Berkhotba, mengajar, memimpin Ibada, Kepemimpinan Jemaat administrasi, perhatian
pastoral dan konseling meskipun demikian pembatasan antara pelayanan pastoral.
b.
Pendampingan pastoral
adalah seluruh lingkup kontak pertolongan yang terjadi antara pastor dan
anggota jemaatnya yang meliputi pelayanan yang tak terbatas seperti kunjungan
kepada orang sakit, memperhatikan kepada orang yang meninggal dunia, menghibur
orang yang mengalami kehilangan, tradisi sakramen dan menetapkan sakramen.
c.
Pastoral konseling acapkali tidak jelas sehingga untuk
memahaminya maka ketiga unsur ini harus dilihat sebagai suatu kesatuan
sebagaimana pelayanan pastoral bersinggungan langsung dengan konseling
pastoral. Menurut Van Beek konseling pastoral pada hakekatnya dipandang sebagai
suatu proses pertolongan rohani. C.W Brister
menegaskan konseling pastoral
dibedakan dari konseling lainnya (edukasional, psikologis, medis dll)
karena dasar kontekstualisasinya terletak pada
asumsi dan orientasinya yang religius. Meskipun menggunakan
prinsip-prinsip umum yang sama dengan konselor profesional lainnya. Pelayanan
secara umum dibangun atas dasar teologi biblica dan menaru perhatian besar
terhadap pengharapan Kristen.
J. L Ch Abineno
mengatakan bahwa:
a)
Konseling Pastoral adalah suatu proses yang berusaha
memecahkan persoalan oleh relasi antara pastor dan anggota jemaat.
b)
Pastor yang menjalankan konseling pastoral adalah penolong
bagi anggota jemaat yang ia gembalahkan.
c)
Bantuannya berlangsung dalam bentuk percakapan.
d)
Dalam percakapan itu pastor membantu supaya anggota jemaat
dapat melihat persoalannya dengan jelas dan menerimanya sebagai persoalannya
sendiri.
e)
Tujuan akhir konseling pastoral ialah supaya oleh bantuan
pastor anggota jemaat dapat menolong dirinya sendiri.[34]
Menurut Yakub B Susabda Pastoral konseling
adalah hubungan timbal balik (interpersona relationship) antara hamba Tuhan
(Pendeta, penginjil sebagai konselor
dengan konselinya klien) dalam mana konselor mencoba membimbing konselinya
kedalam suatu percakapan konseling yang ideal, Sehingga konselor betul-betul
mengenal tentang apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya
kondisi hidupnya dimana ia berada sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya
dalam relasi dan tanggung jawab kepada Tuhan dan mencoba mendapat takaran,
kekuatan dan kemampuan seperti yang telah diberikan Tuhan Kepadanya.[35]
Berdasarkan definisi di atas kita bisa
melihat ada empat aspek penting yang harus dikenal oleh setiap konselor (Hamba
Tuhan)
a)
Hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara
konselor dengan konselinya.
b)
Hamba Tuhan sebagai konselor.
c)
Suasana percakapan konseling yang ideal (condusive
atmosphere)
d)
Melihat hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada
Tuhan dan mencapai tujuan itu dengan
tekanan, kekuatan dan kemampuan seperti yang diberikan Tuhan padanya.
Berdasarkan uraian teori Konseling Pastoral
maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Konseling Pastoral merupakan suatu
proses hubungan antara konseli dan konselor yang dilakukan dalam suatu
percakapan yang ideal, dan dilakukan dalam bentuk wawancara, dimana konselor
menolong klien untuk mengatasi masalanya
sampai konseli merasa tertopang dan tertolong, sehingga konseli merasa adanya
jalan keluar untuk masalahnya sendiri. Misalnya konseling Pastoral yang
dilakukan terhadap pasangan kawin antar wariwaa di Negeri dan Jemaat Kamarian
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang
digunakan adalah tipe penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif dipahami
sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan
subjek, objek pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagai mana adanya.[36]
Alasan peneliti menggunakan tipe atau metode penelitian kualitatif karena
penelitian ini membicarakan tentang masalah-masalah atau fakta-fakta dalam
masyarakat khususnya di Negeri Kamarian. Penelitian ini menggambarkan dua pola
atau konsep yaitu cinta dan adat serta
situasi-situasi tertentu yang berkaitan dengan “perkawinan antar wariwaa”, dan akan mengkaji pandangan-pandangan
masyarakat, sikap-sikap serta proses dan pengaruh dari fenomena-fenomena yang terjadi
di Negeri ini, dan penelitian ini juga tidak meletakan suatu dasar konsep
tentang sebab akibat Dengan demikian strategi pendekatan ini
diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang masalah yang diteliti
III. 2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Negeri Kamarian Kecamatan Kairatu, Kabupaten
Seram Bagian Barat. Dipilihnya lokasi ini, karena adapun yang menjadi asumsi tolak ukur
untuk memilih lokasi ini, sehingga adanya beberapa alasan diantaranya :
a) Negeri Kamarian
merupakan sebua Negeri yang memiliki karakteristik budaya yang beragam, salah
satu budaya ialah adat.
b) Lokasi ini dipilih
karena peneliti mengetahui dan menetap dalam selang waktu yang cukup lama, sehingga penulis mengetahui
realita yang terjadi di Negeri Kamarian, dan memudahkan peneliti untuk proses
pengambilan data sewaktu penelitian
c) Pada pengamatan
awal dilihat ternyata ada terjadi “perkawinan
antar wariwaa” karena cinta kasih sehingga adat diabaikan,
d) Mudah dijangkau
dengan menggunakan transportasi berupa angkutan darat maupun laut
III.3 Sasaran dan Informan
Untuk memperoleh data-data yang akurat
dalam proses penelitian, maka yang menjadi sasaran
dalam penelitian ini adalah masyarakat Negeri Kamarian dan adatnya, sedangkan yang menjadi sumber informan adalah:
- Pasangan kawin antara
wariwaa 2 pasangan (4 orang selaku suami istri)
- Raja Negeri Kamarian
- Tua-tua adat
- Masyarakat
III.4 Teknik Pengumpulan
Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah:
1.
Observasi Partisipasi
Pasif
Observasi partisipasi pasif yaitu
kegiatan observasi yang dilakukukan dengan cara peneliti datang langsung ke tempat penelitian
dan melakukan pengamatan terhadap
kegiatan orang-orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.[37]
2.
Wawancara Terstruktur
Wawancara ini digunakan sebagai teknik
pengumpulan data, bila peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang informasi
yang diperoleh. Dalam melakukan wawancara pengumpulan data, peneliti telah
menyediakan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Dengan
wawancara terstruktur ini setiap informan diberi pertanyaan yang sama dan
pengumpulan data mencatatnya.[38]
3.
Kepustakaan
Penulis menggunakan studi pustaka dalam rangka mencari
literatur atau informasi dari buku-buku bacaan di perpustakaan dengan tidak
menutup kemungkinan juga untuk mendapatkan informasi global dari internet yang
dapat dipergunakan untuk mendukung penulisan skripsi ini.
III .5 Teknik Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan akan dianalisa secara kualitatif. analisa
ini terdiri dari 3 alur kegiatan yang menurut Mathew. B. Milles dan A. Michael
Huberman yakni :[39]
a.
Reduksi Data
Reduksi data
merupakan suatu bentuk analisa yang memfokuskan, menggolongkan, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian
rupa sehingga kesimpulan data dapat diangkat.
b.
Sajian Data
Sajian data
merupakan proses penyusunan data dan informasi yang telah direduksi secara
deskriptif sehingga menjadi pedoman bagi peneliti.
c.
Menarik Kesimpulan
Verifikasi
merupakan kegiatan konfigurasi utuh yaitu mulai dari tahap pengumpulan data,
reduksi data, sajian data dan kemudian menyimpulkan data.
BAB IV
ANALISA DAN
PEMBAHASAN
IV.1 Gambaran Umum
Lokasi Penelitian
IV.1.1 Sejarah Terbentuknya Negeri Kamarian
Mengenal budaya, adat
dan sejarah merupakan manispestasi penjabaran nilai-nilai luhur, yang hidup
dalam peradaban modern. Sejarah Negeri Amalohi atau Kamarian dalam perkembangan
dan budayanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah peradaban
orang Maluku, dengan Nunusaku sebagai awal peradaban.
Setelah terjadi perang saudara
atau risa siwa lima yang menyebabkan muryale atau kebangsaan yang pertama terpecah
menjadi henaja atau banyak Negeri, maka disinilah proses terjadilah Negeri
Amalohi (Kamarian) berlangsung. Pada saat itu, kelompok-kelompok keluarga
keluar meninggalkan Nunusaku Talamenasiwa mencari tempat perteduhan yang baru
sebagai manisvetasi terbentuknya henaja atau Negeri-Negeri. Kelompok-kelompok
atau keluarga-keluarga moyang Amalohi pun demikian meninggalkan tanah Nunusaku
dan Talamanasiwa menuju suatu tempat perteduhan atau kediaman yang berada lebih
kurang 4 km sebelah utara Negeri Kamarian, sekarang di atas sebuah bukit yang
sekaligus merupakan embrio terbentuknya Negeri Kamarian.
Keadaan ini diceritakan melalui
beberapa fase yang dilalui oleh orang-orang Amalohi hingga berada seperti saat
ini. Adapun fase perjalanan Negeri Amalohi melalui beberapa fase yaitu :
Fase pertama : Dimana moyang-moyang kampung lain di Nunusaku yang hadir
dalam dua masa yaitu siwa dan lima.
Fase kedua : Dimana timbul perpecahan kelompok - kelompok masyarakat
keluar meninggalkan tanah Nunusaku mencari daerah yang aman untuk didiami atau
hijrah ke tanah Talamenasiwa. Kelompok kecil keluarga Amalohi pun keluar
meninggalkan tanah Nunusaku.
Fase ketiga : Dalam perjalanan keluar mereka menuju mencari
pantai Nusa Ina bangian barat yang dikenal dengan nama Negeri lama (Kamaria).
Jaraknya kira-kira 4 km dari Negeri Kamarian sekarang yang dalam sejarah tetap
mempertahankan eksistensi daera ini dari kelompok-kelompok yang lain.
Fase keempat : Dimana kelompok
Amalohi yang diam di Negeri lama (Kamaria) turun ke tepi pantai pada lokasih
kamarian seperti ini kira-kira abad 15-16 masehi.
Perkembangan dan peradabannya pada masa penjajahan maupun Fortogis
masuknya agama kristen hingga menjadi sebuah kampung yang besar dimana telah
melahirkan anak-anak dan telah terpancar kemana-mana. Dengan demikian penulusuran
terhadap sistim pemerintahan dan perkembangan Amalohi (kamarian) sebagai sebuah
Negeri maka dapat ditelusuri bahwa sepanjang sejarah Negeri Kamarian hingga
ini, sudah terjadi tuju kali pergantian raja antara lain :
1.
Raja Negeri Kamarian
yang pertama adalah Bapak Tuan Patty
2.
Raja Negeri Kamarian
yang kedua adalah Bapak Justianus Pocerattu
3.
Raja Negeri Kamarian yang ketiga adalah Bapak Johanis Kainama
4.
Raja Negeri Kamarian
yang keempat adalah Bapak Justianus Pocerattu
5.
Raja Negeri Kamarian yang kelima adalah Bapak Dominggus
Kainama
6.
Raja Negeri Kamarian
yang keenam adalah Bapak Junus Pariama
7.
Raja Negeri
Kamarian yang ketujuh adalah Bapak
Jonatan Pieter Kainama, S.Sos yang menjabat sampai sekarang.
IV.1.2 Letak
Geografis
Negeri Kamarian merupakan
salah satu Negeri yang berada di pesisir pulau Seram Bagian Barat, yang dari
segi pemerintahan termasuk dalam wilayah Kecamatan Kairatu dengan jarak tempuh
kurang lebih dua belas (12) km dari Kamarian ke kota Kecamatan Kairatu.
Secara geografis,
batas-batas wilayah Negeri Kamarian sebagai berikut :
a. Sebelah Timur berbatasan dengan Petuanan Negeri Rumakay di daerah
pegunungan dan dengan Negeri Tihulale di daerah pesisir.
b. Sebelah Barat berbatasan dengan Negeri Kairatu.
c. Sebelah Utara berbatasan dengan pegunungan Hunitetu.
d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Seram.
IV.1.3 Keadaan Masyarakat Atau Demografi
Negeri Kamarian merupakan
salah satu Negeri yang terletak di Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian
Barat dengan jumlah penduduk 4.899 jiwa dan 1005 kepala keluarga (KK) yang
demikian menjadi 2.269 anggota masyarakat, dengan tingkat pendidikan
sebagaimana dimuat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1.
Jumlah
masyarakat Kamarian berdasarkan tingkat pendidikan
No
|
Tingkat
Pendidikan
|
Total
|
1
2
3
4
5
6
7
8
|
TK
SD
SMP
SMA DAN SMK
D2
D3
S1
S2
|
-
1.163
617
666
83
100
97
9
|
Jumlah
|
2.735
|
Sumber : Data statistik Negeri Kamarian tahun 2009.
Komposisi ini memperhatikan
latar belakang pendidikan yang sekaligus menjadi corak pandang atau pemahaman
masyarakat. Tabel ini dapat menjelaskan dan memberikan informasi tentang tingkat
kemajuan Pendidikan disana. Dilihat bahwa kesadaran pendidikan sangat baik Hal
ini terlihat dari kategori tingkat pendidikan yang ditempuh oleh masyarakat
Kamarian. Jumlah penduduk yang memiliki tingkat pendidikan pada SD menempati
tingkat pertama dengan jumlah 1.163 jiwa kemudian tingkat SMA dengan jumlah 666 jiwa, kemudian SMP dengan
jumlah 617 jiwa, kemudian D3 dengn jumlah 100 jiwa, dilanjutkan dengan S1
dengan jumlah 97 jiwa, kemudian D2 dengan jumlah 83 dan yang terakhir S2 dengan
jumlah yang paling sedikit 9 jiwa.
Selain itu untuk
menunjang proses pendidikan, pada Negeri Kamarian memiliki 3 SD Negeri dan 1 SD
Inpres dan 1 buah SMP Negeri juga SMA Negeri 1 buah dan SMK Negeri 1 buah, Dengan tenaga pengajar dan administrasi
yang berfariasi ijazanya antara SMA sampai sarjana.
IV.1.4 Sosial Ekonomi
Kondisi perekonomian di
Negeri Kamarian dapat dikatakan cukup baik. Hal ini disebabkan karena Kamarian
berada pada posisi strategis yaitu dekat dengan Kecamatan Kairatu dan Ibukota
Provinsi (Ambon ), sehingga mempermudah
masyarakat Kamarian untuk mendistribusikan hasil–hasil pertanian dalam jumlah
yang besar. Kondisi ini sangat ditunjang juga dengan lancarnya transportasi darat
dan laut yang menghubungkan Negeri Kamarian dengan pasar. Dimana terdapat 24
unit mobil truk, 7 unit motor temple, dan 8 unit speed boad, (±) 100 motor ojek.
Selain itu, topografi Negeri Kamarian yang terdiri dari
dataran rendah dan perbukitan dengan keadaan tanah yang subur serta sumber mata
air yang cukup banyak, turut mempermudah dan membantu masyarakat dalam bercocok
tanam sehingga hasil yang diperoleh tidak mengecewakan. Ada berbagai tanaman produktif yang ditanam
oleh masyarakat Kamarian. Untuk tanaman umur panjang, jenis–jenis tanaman yang
ditanam antara lain: umbi-umbian, kacang-kacangan, pisang dan lain-lain. Semua
hasil pertanian ini dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pendidikan
anak-anak, kesehatan dan sebagainya. Walaupun demikian, hal ini bukan merupakan
barometer untuk menentukan letak kesejahteraan ekonomi masyarakat Kamarian.
Sebab ada juga sebagaian masyarakat yang mengkonsumsi hasil pertanian hanya
untuk makan keluarga setiap hari. Selain kegiatan-kegiatan ekonomi diatas,
masyarakat Kamarian juga sangat efektif dalam kerja kelompok. Karena itu, dalam
upaya memenuhi kebutuhan ekonomi, tidak jarang ditemui kelompok-kelompok
bekerja baik yang berdasarkan keahlian maupun yang berdasarkan hubungan
keluarga. Hal ini dipengaruhi oleh ciri hidup masyarakat Negeri Kamarian yang
cenderung saling tolong-menolong dan bergotong-royong dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan.
Untuk lebih
jelas dan terperinci, maka dapat dilihat bersama pada tabel berikut ini :
Tabel 2.
Jumlah
masyarakat Kamarian berdasarkan tingkat pekerjaan
No
|
Tingkat
Pendidikan
|
Total
|
1
2
3
4
5
6
7
|
Tani
PNS
Guru
TNI / POLRI
Wiraswasta
Tukang Bangunan
Nelayan
|
789
53
201
10
91
125
42
|
Jumlah
|
1.311
|
Sumber : Data statistik Negeri
Kamarian tahun 2009.
Tabel ini menjelaskan
informasi pekerjaan yang digumuli oleh masyarakat Kamarian sebagai bentuk mata
pencaharian yang dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Sehingga
berdasarkan kategori pekerjaan pada
tabel di atas, maka dapat dijelaskan bahwa adapun kategori pencaharian yang
banyak diguluti oleh masyarakat Negeri Kamarian adalah petani dengan jumlah 789
jiwa, selanjutnya Guru dengan jumlah 201 jiwa, kemudian tukang bangunan 125
jiwa, kemudian wirasuasta 91 jiwa, kemudian PNS dengan jumlah 53 jiwa, kemudian
nelayan dengan jumlah 41 jiwa. Dan yang terendah adalah TNI POLRI dengan jumlah
10 jiwa. Dari data ini menggambarkan jumlah jiwah yang bersekolah ternyata
masih banyak dan berpeluang untuk meningkatkan angka kerja yang lebih baik dari
sebelumnya
IV.1.5 Aspek Sosial Budaya
Dari sisi kultur,
kehidupan masyarakat Negeri Kamarian masih kuat diwarnai oleh sistim
kekerabatan. Pola kekerabatan hubungan dimaksud, berbentuk mata rumah yang pada
waktu dahulu dilembagakan dalam soa dan dipimpin oleh kepala soa, sedangkan Negeri
di pimpin oleh Upu Latu. Marga yang berhak memangku jabatan Upu Latu adalah,
marga Pocerattu dan marga Kainama. Kedua marga inilah yang selalu diangkat
menjadi Upu Latu atau Raja. Negeri Kamarian adalah Negeri adat sehingga seluruh
kegiatan fisik maupun non fisik yang berlangsung dalam Negeri sangat
dipengaruhi oleh adat yang berlaku. Dengan kata adat yang berlaku di Negeri
Kamarian mengikat seluruh sendi kehidupan masyarakat. Norma-norma adat yang
berlaku dalam masyarakat berhubungan dengan relasi antar manusia dengan
manusia, manusia dengan alam sekitar maupun antar manusia dengan kekuatan
adhikodrati termasuk para leluhur.
1. Adat diyakini oleh
masyarakat sebagai warisan pada leluhur, karena itu harus ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat, mislanya pada adat perkawinan ada larangan-larangan keras
agar marga yang tergabung dalam suatu soa tidak boleh kawin antara satu dengan
yang lainnya. Disamping adat perkawinan praktek adat lainnya yang masih sangat
kuat dipertahankan adalah adat pasawari dan adat denda.
IV.1.6 Keadaan Iklim
Negeri Kamarian beriklim tropis.
Iklim Kamarian pada umumya sama
dengan daerah lain di Maluku
tetapi terdapat perbedaan curah hujan. Di Pulau Seram, curah hujan yang lebat
terjadi pada bulan Mei-Juli. Pada waktu itu di daerah lain mengalami musim
kemarau.
Ada dua macam musim yang
dikenal. Musim itu adalah musim timur
dan musim barat. Musim timur dari bulan Mei-Oktober dan Musim Barat dari bulan
Desember – Maret. Musim timur adalah musim hujan sedangkan musim barat adalah
musim kemarau.
IV.1.7 Agama
dan Kepercayaan
Sebelum orang Kamarian menerima Injil, kepercayaan
awalnya adalah kepada agama suku. Dalam agama ini ada unsur-unsur adat tertentu
dari Tete nene moyang yang dapat
mengatur hidup manusia artinya percaya bahwa dunia diatur oleh suatu kekuasaan
tertinggi, yaitu “ UPU LANITE KAITAPELE” atau Ilah di atas semua ilah (Tuhan
yang berkuasa atas langit dan bumi). Ilah ini dianggap melindungi dan menjaga
serta memberikan berkat bagi manusia. Selain UPU LANITE, orang Kamarian juga
takut kepada Tete nene moyang. Mereka
dianggap sebagai penjaga dan pelindung anak cucu melalui pelaksanaan adat.
Setelah
orang Kamarian menerima Injil dan menjadi Kristen, mereka percaya bawha UPU
LANITE KAITAPELE adalah sebutan yang dipakai oleh orang Kamarian sejak dulu
kepada Allah yang tidak mereka kenal. Karena itu dalam pasawari adat mereka
menyebut UPU LANITE MARETE KAITAPELE adalah Allah dan Yesus disebut sebagai
Tuhan.
IV.1.8 Sistim
Pemerintahan
Negeri
Kamarian dipimpin oleh seorang raja yang dipilih berdasarkan mata rumah perintah.
Raja dibantu oleh Kepala Soa, Kapitan (panglima),
Kepala Adat (Mauweng), dan
badan Saniri-saniri Negeri. Saniri adalah wakil-wakil rakyat dan mengatur
semua hal yang berkaitan dengan Negeri. Selain itu terdapat juga Marinyo[40]. Sistem
pemerintahan di Kamarian masih mengikuti UU No.5 Tahun 1979 tentang sistem
pemerintahan desa. Struktur pemerintahan desa sebagai berikut:
·
Kepala
Desa dikenal sebagai pemimpin masyarakat dengan sebutan,
sebagian masih dengan istilah Raja dan sebagian lagi Kepala Desa. Dipilih
berdasarkan kemampuan, kharisma dan sejumlah persyaratan adat serta peraturan
formal dari pemerintah daerah setempat. Kepala Desa dipilih berdasarkan suatu pemilihan yang demokratis.
·
Sekretaris
Desa, berfungsi sebagai staf yang membantu kepala desa dalam menjalankan hak,
wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintah Desa.[41]
·
Kepala-Kepala
Urusan, adalah staf yang bersama-sama dengan sekretaris Desa menjalankan tugas
dan wewenang
Kepala Desa sehari-hari.
·
Kepala
Dusun, adalah unsur pelaksana tugas kepala Desa dalam wilayah tertentu.
·
Lembaga
Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan, yang keanggotaannya
terdiri dari kepala-kepala dusun, pemimpin lembaga kemasyarakatan,
pemuka-pemuka masyarakat di Desa (Tokoh Adat, Agama, Kekuatan Sospol dan
Golongan Profesi)
IV.1.9
Aspek Pelayanan Gereja
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan
membahas sedikit tentang aspek pelayanan Gereja secara umum yang ada dan
berkembang dalam Negeri Kamarian. Masyarakat Kamarian pada awalnya hanya satu
jemaat yaitu jemaat GPM Kamarian, Namun tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan
panjang kehidupan jemaat ini muncul
beberapa jemaat tetangga yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah jemaat GPM Kamarian, yaitu
jemaat Adven hari ketuju dan yang baru berkembang sekitar tahun 2006 adalah
jemaat Bethani dan Pentakosta. Tidak dapat disangka kedua ”keyakinan
ini berkembang ada pertantangan yang
timbul dalam Negeri Kamarian namun semua itu dapat terselesaikan dengan segala
baik dan sampai sekarang masing-masing keyakinan tetap beribadah sesuai dengan
cara masing-masing.
Dengan demikian maka akan
digambarkan sedikit tentang sejarah
jemaat GPM di Kamarian. Jemaat GPM Kamarian terbentuk antara tahun
1625 hingga 1645 diperkirakan sudah ada masyarakat Kamarian telah memeluk dan
menjadi Kristen. Walaupun pada tataran tahun tersebut sebelum sepenuhnya masyarakat menganut agama
tersebut. Kekristenan di Negeri Kamarian terus mengalami peningkatan yang
pesat, ketika pemerintah Negeri dan sanirinya
menerima dan menyetujui masuknya agama
Kristen di Negeri Kamarian pada tanggal 24 November 1677, yang ditandai dengan
pembaptisan kudus oleh 136 jiwa. Pada
tanggal tersebut dimaknai sebagai masuknya injil di Negeri Kamarian[42]
1V.2
Wariwaa Menurut Masyarakat Kamarian
Bagian ini akan
memaparkan tentang gambaran tentang wariwaa,
sejarah munculnya wariwaa dan dapat
diuraikan sebagai berikut ?
IV.2.1
Gambaran Tentang Wariwaa
Sebagaimana yang telah dijelaskan
pada bab yang terdahulu maka adat
wariwaa di Negeri Kamarian, maka secara umum digambarkan bahwa adat inimemiliki
beberapa kelompok fam-fam atau marga-marga yang mempunyai hubungan Wariwaa (adik-kakak) terdiri dari dua fam atau marga dan juga ada tiga fam
atau marga yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a.
Marga Putirulan dengan Marga Pariama
b.
Marga Kainama dengan Marga Tupanwael/dan Marga Talapessy
c.
Marga Heumasse dengan Marga Tuparia dan Marga Pocerattu
d.
Marga Pesireron dengan Marga Tomatala dan Pariama
e.
Marga Sahettapy dengan Marga Wairatta
f.
Marga Hatuopar dengan Tupessy
g.
Marga Tuaputimain dengan Tomatala
h.
Marga pentury dan Kainama
i.
Marga Tauran dan Tatirattu
j.
Marga Tuhehay dan Tuparia dll[43]
IV.2.2
Sejarah Munculnya Adat Wariwaa di Negeri
Kamarian
Tanpa disadari oleh kita bahwa
orang Maluku tidak terlepas dari apa yang dinamakan dengan budaya. Dari
kebudayaan inilah muncul berbagai kebiasaan, tradisi dan yang diramuh dalam
suatu istilah adat yang dipahami sebagai aturan atau norma yang mengatur tata
kelakuan suatu masyarakat yang telah diwariskan oleh paraleluhur
kepada generasi penerus, diantaranya adat wariwaa
di Negeri Kamarian.
Berbicara tentang sejarah tentang
munculnya adat wariwaa di Negeri
Kamarian kita akan menelusuri tentang pengetahuan masyarakat Kamarian (informan)
dalam menjawab berbagai pertanyaan, sejak kapan munculnya adat wariwaa dan apa
yang melatar belakang dan mendorong lahirnya adat wariwaa? terhadap pertanyaan
tersebut dituturkan oleh beberapa informan sebagai berikut:
“Menurut
informan, Pada zaman duluh (zaman primitif) para datuk atau leluhur yang
tinggal pada petuanan atau wilaya Kamarian. Dimana masih tinggal dalam
kelompok-kelompok fam atau marga misalnya marga Pariama di gunung batu meja
lokasinya di atas Negeri Tihulale, Putirulan diatas gunung tahuri, Tuhehay dan
Kainama di Amananay Dll. Saat itu belum ada sistem pemerintahan yang diatur
sehingga tejadi ketidak cocokan dan terjadilah permasalahan dan konflik antara
fam.selain itu juga adanya proses saling tolong menolong dalam peperangan.
Terhadap hal tersebut maka untuk mendamaikan dan mempersatukan mereka, maka
diangkatlah sumpah untuk menjadi wariwaa atau saudara. Setelah bergabunglah
kelompok-kelompok marga ini maka terbentuklah Negeri Kamarian’.’[44]
Berdasarkan data yang
disampaikan oleh Raja Negeri Kamarian, dijelaskan bahwa adat wariwaa ini, ada
pada zaman primitif, kehidupan mereka masih berpindah-pindah yang disebut
nomaden. Kemudian adanya konflik namun untuk menyelesaikan hal tersebut maka
diangkatlah sumpah sebagai sudara dan kemudian bersatu menjadi Komunitas besar
yang sampai sekarang disebut sebagai Negeri Kamarian
“Menurut
informan bahwa adat wariwaa ini sudah ada dari tempuk duluh sebelum kami lahir
di dunia ini adat wariwaa. Yang beta ketahui itu, wariwaa dalam bahasa Kamarian
memiliki arti yaitu adik dan kakak atau
bersaudara antara fam-fam di kamarian seperti beta marga Tuaputimain dengan
marga Tomatala. Wariwaa ini terjadi pada
waktu duluh zaman belum ada agama, dunia masih gelap, ada dua moyang satu dari fam Tomatala dengan Fam Tuaputimain
membuat minyak yang dibuat dari kelapa, namanya ialah minyak kuat kuasa yang
dipakai dan digunakan untuk menolong orang Kamarian dalam melakukan berbagai
pekerjaan misalnya membangun rumah dan dipakai untuk berperan. Dengan menggosok
minyak ini orang Kamarian sembuh dari semua potongan atau panah dari musuh
mereka. Waktu itu juga mereka berdua mengangkat janji bahwa mereka berdua sekarang basudara, adik dan
Kakak, jadi mereka berdua harus saling menyayangi, tidak boleh kawin mengawini,
dan harus tolong menolong dalam bekerja serta kedua moyang ini telah berjanji
bahwa sampai mereka punya anak cucu harus lakukan janji itu. Wariwaa ini ada,
waktu itu beta punya tete dan nenek semua belum mengenal agama Kristen.
Merekamasih hidup terpisah belum menjadi suatu negeri sepeti sekarang, yang sakarang kami ikut apa yang mereka telah
janji, mereka janji supaya kami harus saling menyayangi antara bersaudara dan
kami pula harus memberi bantuan antara satu dengan yang lain pula”.[45]
Berdasarkan data yang
disampaikan dan dibilang bahwa adat wariwaa sudah ada sejak dahulu kalah sebelum masyarakat Kamarian bersatu pada
suatu tempat dan daratan dalam lingkungan tertentu, tetapi telah ada sejak
masyarakat Kamarian hidup secara nomaden
yakni berpencar dan mendiami seluruh tempat yang ada di hutan Kamarian pada
bagian pegunungan. Wariwaa juga
sebagai warisan para leluhur yang diturunkan oleh para leluhur kepada semua
generasi yang akan datang. Wariwaa juga ada sebelum masyarakat Kamarian belum
mengenal agama Kristen tetapi mereka masih hidup pada agama suku yang diyakini
sebagai kepercayaan mereka.
Dari narasi yang disampaikan bahwa wariwaa antara marga Tomatala dan
Tuaputimain terjadi pada Zaman duluh ketika kehidupan orang Kamarian masih ada
dalam peperangan dan kemudian kedua marga ini
berinisiatif untuk membuat minyak namanya adalah minyak kuat kuasa,
serta minyak ini memiliki fungsi dan bermanfaat bagi masyarakat Negeri Kamarian
zaman duluh kala dan juga sebagai obat untuk dipakai oleh masyarakat yang
mengikut peperangan, dengan tujuan supaya jangan terkenal bahaya. Begitu pula
dapat mengobati luka akibat peperangan. Peristiwa pemasakan minyak kuat kuasa
ini dengan cara dan kerja tradisional yang memerlukan kesabaran dan kebersamaan.
Dari narasi ini, membuat kedua moyang dari fam ini untuk mengangkat sumpah
sebagai orang bersaudara atau adik kakak. Adapun janji-janji yang telah
disepakati oleh kedua fam ini antara lain :
1)
Kedua fam ini ( fam Tomatala dan fam Tuaputimain ) tidak
boleh saling kawin mengawini.
2)
Tidak boleh berbicara dan bersikap menyinggung
perasaan dari satu pihak dengan pihak lain
atau antara kedua fam ini.
3)
Tidak boleh adanya tindakan kekerasan atau
perkelahian antara ke dua fam tersebut
4)
Saling tolong menolong dalam bentuk apapun
diminta atau tidak diminta pertolongan tenaga, pikiran dan sebagainya.
5)
Saling memberi dan menerima. Artinya
segala sesuatu yang diminta harus diberikan
dan sebaliknya apa yang diberikan harus dengan ketulusan hati dan
diterima.
“
Sejalan dengan pengetahuan tentang wariwaa maka menurut informan bahwa, kami
punya adat ini, bukan buat-buatan tetapi memang adat ini mempunyai bukti nyata
dalam kehidupan kami setiap hari. Beta perna melanggar janji ini terhadap beta
punya sudara wariwaa yaitu wari Tuaputimain akhirnya beta dapat masalah, Yakni ketika beta ambil kayu api di wari
punya kebun tanpa diminta lagi akirnya beta punya wariwaa marah, dan beta pulang ke rumah,
kemudian beta memasak di dapur lalu kayu
yang beta ambil di kebunnya wariwaa itu, apinya membakar beta punya dapur’’.[46]
Hubungan kekerabatan
dan kekeluargaan yang terjadi ini,
bukanlah direkayasa atau dibuat-buatan oleh
masyarakat Kamarian tetapi dibuktikan dengan aksi dan tindakan yang nyata.
Konsekuensi dari yang melanggar adat ini akan mendapat masalah baik secara
individu maupun secara kekeluargaan atau yang disebut clen atau matarumah.
Sejarah singkat hubungan wariwaa yang
terjadi antara fam Tomatala dan fam Tuaputimain tetap bertahan sampai sekarang
ini. Pada dasarnya hubungaan wariwaa
yang terjadi dilatar belakangi oleh peristiwa yang terjadi pada masah duluh
kalah atau masa lampau oleh para leluhur dan hampir semua fam itu sama. Sepeti
wariwaa antara fam Tuparia dan Heumasse.
Informan
lain mengatakan bahwa adat wariwaa ini ada sejak orang Kamarian masi hidup terpancar,
belom menyatu, seperti sekarang, yang beta ketahui itu, wariwaa ada pada waktu duluh, karena terjadi peperangan alifuru
untuk merebut tempat tinggal yang bagus dan aman. Contoh kami Tuparia dengan
Fam Heumasse. Kami punya wariwaa ini terjadi pada suatu peristiwa perang huamoal pada saat itu orang huamoal
ingin membunuh kami punya kapitan
Tuparia yang mengakibatkan fam Tuparia diserang tetapi Fam Heumasse menolong fam Tuparia untuk menghusir orang-orang yang ingin
merebut mereka punya daerah Kekuasaan.[47]
Dari hasil data dibuktikan bahwa angkat wariwaa
antara fam Tuparia dan Fam Heumasse terjadi karena adanya peristiwa tolong
menolong yang dilakukan oleh fam Heumasse kepada fam Tuparia. Hal ini terjadi
ketika perang Huamoal yang menyebabkan terjadinya pembunuhan terhadap kapitan
Tuparian dan mengakibatkan fam Tuparia diserang dan dibunuh namun fam Heumasse
datang dan membantu fam Tuparia dalam
mempertahankan kekuasaan sehingga mengusir setiap orang yang datang menyerang
fam Tuparia. Berdasarkan peristiwa ini, sehingga mereka mengangkat sumpah dalam
sutu angkat wariwaa.
“Selain
itu ada juga sejarah wariwaa antara fam Tomatala, Pariama dan Pesireron.
Menurut kami punya orang tua duluh, mereka cerita begini katanya wariwaa ketiga
fam ini muncul pada waktu itu ada satu rencana yang dibuat oleh
fam Tomatala terhadap fam Pesireron yang datang mencari tempat kediaman pada hutan di daerah Kamarian, namun fam Pariama tidak setuju dengan fam
Tomatala. Lalu melarang fam Tomatala supaya jangan bunuh mereka. Namun fam
Tomatala tidak mendengar setiap teguran.
Kemudian Fam Pariama kumpul pasukan untuk melawan serta menyerang Tomatala
akhirnya terjadi perlawanan dan saat itu pasukan dari fam Pesireron mengangkat bicara buat fam
Tomatala untuk jangan bertengkar tetapi
lebih baik kami saja yang dibunuh akhirnya dari perdebatan itu diakhiri dengan
angkat sumpah dan mereka membuat satu buah tungku atau tempat memasak sampai
sekarang tempat ini dinamakan tungku
tiga”.[48]
Berdasarkan data di atas ternyata ada suatu peristiwa yang
mendasar sehingga terbentuk adat wariwaa khususnya ketiga fam yaitu Tomatala,
Pesireron dan Pariama. Adanya unsur tolong menolong. Berdasarkan narasi ytang
diceritakan bahwa pada saat itu ada rencana pembunuhan yang dilakukan fam
Tomatala terhadap Fam Pesireron di sebua gunung dan diketahui fam Pariama.
Ketika itu juga fam Pariama memberikan pemahaman kepada fam Tomatala untuk
jangan membunuh fam Pesireron, tetapi fam Tomatala bersikeras, ingin tetap
melakukan pembunuhan tersebut. Sehingga fam
Pariama memanggil semua masyarakatnya
untuk menyerang fam Tomatala. Kemudian marga Pesireron mengangkat bicara
untuk tidak boleh terjadinya penyerangan
“jika perlu mereka saja yang dibunuh”.
Perdebatan antara tiga fam ini diakhiri dengan angkat sumpah dengan simbol tiga buah batu yang diletakan
berbentuk tungku (tempat orang memasak pada zaman dahulu) antara fam Tomatala, Pesireron dan Pariama. Sampai
sekarang tempat ini disebut tungku tiga.
IV.3
Perkawinan Antar Wariwaa.
Pada poin ini peneliti akan
memaparkan serta menganalisis dari hasil penelitian yang berkaitan dengan perkawinan antar
wariwaa di Negeri Kamarian. Sehingga ada beberapa indikator atau pokok tertentu
diantaranya
-
Penyebab terjadinya perkawinan antar wariwaa
-
Dampak dari perkawinan antar wariwa.
-
Harapan dari Pasangan kawin antar wariwaa dan masyarakat
IV.3.1
Penyebab Terjadinya Perkawinan Antar Wariwaa.
Perkawinan adalah suatu ikatan antara kedua insan
yang berbeda. Perkawinan yang merupakan salah satu tujuan manusia untuk ada dan
menetap pada alam semesta. Perkawinan memungkinkan setip orang untuk mengekspresikan perasaan yang tumbuh dalam hati. Entah
perasaan suka, sayang, cinta kasih, simpati dan empati. Namun pelakon
perkawinan ini memiliki perbedaan yang mendasarinya. Perkawinan dalam sisi yang
satu membawa kedamaian dan kesejahteraan, akan tetapi disisi lainya pula
mendatangkan hal-hal yang tidak terpuji, dikarenakan manusia memiliki
aspek-aspek tentang etika, norma yang mengatur mereka untuk bertindak dan
berperilaku. Aspek ini nampak dalam suatu perkawinan dalam suatu wilaya
tertentu.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
pasangan suami istri di Negeri Kamarian mengenai penyebab perkawinan diantara
mereka, adapun pasangan informan mengatakan
bahwa
“Kami
berdua kawin karena saling menyayangi. Waktu duluh sebelum kami berdua pacaran,
beta dan dia adalah teman baik. Waktu beta dengan beta punya istri masih sekolah dia sangat perhatian buat beta,
hal yang sama saat beta masuk rumah sakit, dia rela untuk pergi jaga beta di
rumah sakit, saat beta dan dia masih sekolah bersama dengan dia, tugas-tugas
yang belum terselesaikan oleh beta diapun membuatnya untuk beta, beta juga
sering makan di rumahnya dia, dari hal tersebut tumbuh rasa cinta di beta punya
hati. Beta tidak tau lagi musti lakukan apa dan bagaimana dengan beta punya
hati, selanjutnya beta tanya dia untuk pacaran saat itupun dia mengaku untuk
jadi beta punya pacar. Seterusnaya kami lakukan hubungan pacaran itu secara
diam-diam saja. Karena beta sudah terlanjur sayang dan cinta untuk dia,
sampai-sampai sudah lupa bahwa kami berdua adalah wariwaa dan beta ajak dia
untuk kawin lari ”.[49]
Dari hasil wawancara di
atas, dapat dibilang bahwa perkawinan
antar wariwaa disebabkan karena
adanya dasar cinta kasih dan saying yang tumbuh
sejak dari persahabatan. Dan kemudian berlanjut pada proses pacaran dan
samapi pada perkawinan. Kendati demikian rasa cinta dan sayang yang tumbuh
akibat perilaku saling peduli yang mengantar mereka pada proses pacaran sampai
pada perkawinan tanpa memperdulikan adanya keterikatan mereka sebagai wariwaa.
Dalam pokok
permasalahan yang sama, Penulis melanjutkan pertanyan kepada istrinya dan disampaikan
katanya
“
Apa yang dibilang oleh beta suami itu benar, memang pertama-tama beta
menganggap dia ini hanya sebagai kakak atau saudara, karena kami berdua ini saudara, akan tetapi karena banyak
hal yang kami dua lewati akhirnya tumbuh rasa suka terhadap beta punya suami.
Dia pula bertanya untuk berpacaran dan beta menerima dia sebagai pacar.
Kemudian beta ceritakan hal tersebut kepada orang tua beta yaitu ibu, tetapi
ibu menegur dan melarang, dibilang bahwa kami berdua adalah wariwaa jadi kalian
berdua tidak boleh berpacaran tetapi beta dan suami berpacaran secara
tersembunyi, karena banyak peristiwa yang kami berdua lalui dan lewati bersama,
seperti yang dikatakan oleh suaminya beta, Dia mengajak beta untuk kawin lari,
Beta tadi-tadinya tidak mau untuk kawin
karena beta takut orang tua yaitu ayah dan ibu begitupula semua saudara marah.
Karena sesungguhnya kami berdua adalah wariwaa yang tidak boleh ada perkawinan
diantara mereka. Tetapi beta punya suami katakana bahwa kami berdua kawin lari
saja. Kalaupun orang tua dan saudara
tidak setuju, beta dan kamu pergi
merantau saja. Karena banyak hal yang disampaikan, pada
akhirnya beta ambel keputusan untuk kawin lari ” .[50]
Berdasarkan data di
atas nampak bahwa istri yang tadinya menganggap hubungan mereka hanya sebagai
saudara, namun proses waktu yang membawa mereka pada sebuah pelaminan atau
bahterah baru. Namun perkawinan mereka ditandai dengan rasa cinta, Sehingga
banyak cara yang dibuat untuk melakukan sebua perkawinan diantanya memberikan
pikiran-pikiran, kemudahan untuk melewati tantangan yang menghalang. Akan
tetapi sang istri setuju pada kemudahan atau jalan keluar yang keliru.
Terhadap kasus yang sama halnya seperti pasangan suami istri terdahulu, penulis melakukan wawancara
selanjutnya dengan pertanyaan yang sama
pula dan dikatakan oleh informan bahwa sebenarnya
“
Kami berdua kawin ini merupakan suatu
bukti cinta dari proses yang berjalan, akan tetapi kami punya pilihan, sangat
berlawanan adat. Dan beta katakana seperti ini, karena perkawinan yang kami
berdua jalani sangat membawa banyak persoalan dalam kehidupan rumah tangga kami
berdua sekarang ini. Pada awalnya kami sudah tau bahwa kami berdua adalah
wariwaa, sudah mendapat janji dari orang tua dan keluarga, tetapi kami berdua
tekat untuk kawin. Sekarang mau katakan bagaimana nasi sudah menjadi bubur.
Kami berdua tidak mendengar orang punya nasihat dan melawan janji-janji dari
orang tua tentang adat wariwaa ini. Sampai bertahun-tahun hidup dalam rumah
tangga yang tidak harmonis seprti orang lain
yang berkeluarga yang harmonis ”.[51]
Dengan jawaban yang
diutarakan melalui hasil wawacara dengan informan sebagi suami dan kepala
kelurga, nampak bahwa perkawinan mereka pada dasarnya terjadi atas dasar cinta
sementara, namun perwujudan atau aksi cinta yang ada pada mereka sebagai
pasangan suami istri merupakan suatu aksi keliru. Dikatakan demikian karena mereka
berdua adalah wariwaa atau adik dan
kakak (menurut adat) di dalam Negeri Kamarian. Pada dasarnya mereka sendiri
juga telah mengetahui keberadaan dan memiliki hubungan kekeluargaan. Dengan
kesombongan mereka tidak memperdulikan nasihat dari orang-orang sekitar,
sehingga kecerobohan ini mendatangkan berbagai masalah.
Bersamaan dengan itu dalam suasana wawancara, informan yang adalah istri
dari bpkT Yaitu Ibu L ia katakan.
“
Yang disampaikan oleh beta punya suami memang benar, kami berdua kawin ini atas dasar saling cinta, namun kalau
dipikir memang salah. Seperti yang dibilang orang bahwa cinta itu bikin kami
lupa daratan. Maksudnya saling cinta tidak pikir bahwa kami berdua ini wariwaa
atau adik kakak. Tempoh dulu beta ini terlalu melawan beta punya
tete dan nene serta tua adat di beta punya matarumah akhirnya hal ini
yang membuat sampai kami berdua kawin antar wariwaa[52]
Nampak terlihat L sebagai istri
menyampaikan apa yang dialami dalam perkawinan mereka terkesan perkawinan
didasari akibat dari kekeliruan sehingga berdampak pada kehidupan rumah tangga
yang kurang bahagia. Perkawinan antara wariwaa pada pasangan ini perlu disadari bahwa mereka adalah
saudara Dan fenomena ini, menjadi tolak ukur bagi
masyarakat Kamarian kedepan agar tidak terkesan terjadinya kelunturan pada adat
wariwaa
itu di Negeri Kamarian.
IV.3.2 Dampak Dari Kawin Antar Wariwaa
Perkawinan antar wariwaa yang terjadi di Negeri Kamarian
sangat berdampak pada kehidupan mereka baik dalam kehidupan rumah tangga,
keluarga besar maupun pada lingkungan serta kebudayaan Negeri Kamarian secara
umum dan adat wariwaa secara khususnya.
Dari hasil wawancara selanjutnya
dengan pasangan kawin wariwaa di Negeri Kamarian, ada yang dikatakan oleh
informan
“Akibat
dari beta kawin dengan beta istri yang adalah wariwaa, maka kami berdua punya hidup, kalau dilihat kurang
mendapat keberuntungan. Masakan kami berdua sudah kawin selama beberapa tahun
ini, kami berdua belum punya anak. Padahal sudah melakukan cek up ke
dokter tetapi dokter katakan bahwa kami
berdua ini tidak ada masalah dengan proses reproduksi, Dilain sisi beta juga sudah
menyesal telah melakukan kawin wariwaa
yang dapat membuat masalah bagi diri sandiri. Beta juga selalu marah-marah buat beta punya istri.
Sering kali kalau lihat teman-teman lain yang sudah mempunya anak ada yang
sudah bersekolah, tetapi sampai sekarang
beta belum punya anak. Mungkin ini akibat dari kecerobohan kami berdua untuk
kawin wariwaa’’.[53]
Berdasarkan data diatas ini, terlihat dampak yang dialami oleh pasangan kawin antar wariwaa ini, adanya beberapa dampak yang akan disampaikan
:
-
Tidak memiliki Anak
-
Kurang adanya keharmonisan dan
kebahagian dalam rumah tangga
-
Mengalami stres
-
Timbulnya rasa bersalah yang berlebihan
-
Kecemburuan sosial kepada rekan-rekan
atau teman-teman.
Selanjutnya
menurut informan lain (istri N) Ia mengatakan akibat dari perkawinan antar
wariwaa ini,
“beta
punya papa sampai meninggal tidak menyetujui kami punya perkawinan. Sampai
sekarang, beta punya ibu dan saudaraku semua tidak mau dekat dengan kami berdua.
Beta kalau bertemu dengan ibu dan sudaraku
yang lain, beta sangat sedih. Banyak masalah yang beta hadapi, baik dengan
suami maupun dengan beta punya keluarga. Terkadang beta berpikir untuk
mengambil jalan pintas. Mungkin ini akibat yang harus beta terima karena sudah
melanggar adat, melawan janji moyang-moyang buat kami anak cucu”.[54]
Pula dari hasil wawancara dengan informan pada
waktu yang berbeda, nampak
informan mengalami depresi akibat dari
perkawinan yang tidak disetujui oleh orang tua dan sanak saudara serta
orang-orang disekitar. Sehingga informan terdorong untuk memilih jalan yang
salah. Disadari sungguh ternyata terdapat rasa penyesalan yang tumbuh dari
dalam hati. Pilihan kekeliruan sehingga melanggar adat yang mengikat mereka
sebagai adik dan kaka. Pada sisi lain, berdampak juga pada kesehatan dari
informan ini.
Data-data ini
dibenarkan oleh orang-orang tua sebagai masyarakat di Negeri ini katanya,
’’sebenarnya anak-anak ini mereka sudah mengetahui
kalau mereka adalah wariwaa tetapi karena
ingin melawan adat dan janji-janji yang dibuat oleh tete nene moyang pasti mereka akan mendapat
karma. Lihat aja sekarang suda banya bukti yang bisa kami lihat, itu salah siapa?
Sudah pasti mereka sendiri” .[55]
Dari data ini telah
adanya pembenaran, bahwa terkesan masyarakat tidak setuju dengan adanya perkawinan antara wariwaa ini.
Dikatakan oleh informan sebenarnya mereka telah mengetahui adat, akan tetapi mereka
mencoba untuk mengubah adat. Tindakan yang ditempuh, pada akhirnya mendapat hukum
karma atau hukum yang didapat dan diperoleh dari akibat melanggar adat atau
janji yang telah disepakati oleh leluhur dan
diturunkan kepada generasi penerusnya. Kalaupun ada yang melanggar
itupun merupakan kesalahan mereka sendiri.
Sedangkan menurut pasangan kawin anatara wariwaa yang lain sebagai
informan dibilang bahwa
“Ada
beberapa dampak yang dialami oleh kami berdua memang beta tidak sampaikan juga pasti masyarakat banyak sudah tau, akibat
dari perkawinan ini beta punya anak pertama meninggal, kedua cacat dan yang
ketiga beta bersyukur normal, suda kawin selama tiga belas tahun ini banyak
sekali masalah. Kehidupan kami kurang
nyaman. Beta sangat tersinggung kalau orang ejek beta punya anak, kadang beta
sangat sedih kaloh beta punya anak melihat teman-temannya bermain sedangkan dia
hanya duduk di kursi saja. Ini salah kami sendiri.”[56]
Terhadap data ini dijelaskan
bahwa dampak dari kawin antar wariwaa sehingga anak pun mendapa akibatnya, anak pertama dan kedua
yang harus menerima akibat ini. Disisi Lain suda tiga belas tahun perkawinan
lamanya namun keluarga mereka kurang bahagia, dilingkupi dengan masalah, selain
itu adanya beban pikiran dan rasa penyesalan terhadap perkawinan yang telah
dilewati mereka berdua.
Menurut informan lainya
dengan pertanyaan yang sama, katanya dampak dari perkawinan ini, informan
mengatakan bahwa, ada beberapa dampak yang dialami,
“beta punya suami telah sampaikan tetapi beta ingin sampaikan sesuatu hal yang
sangat mengganggu beta hati, masalah ini beta suda alami dalam rumah tangga,
sering kali beta suami suka marah-marah sampai pukul beta. Terkadang kami sebagai perempuan hanya menangis,
kalaupun dia membentak dan memarahi,
beta sukanya pergi ke kebun supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Beta kalu ingat kenangan masih pacaran sangat beda dengan keadaan sekarang”.[57]
Menurut data ini istri
mengalami tantangan dalam rumah tangga. Sebagai sosok istri dengan cara
pikirnya yang baik. Dia berusaha untuk menghindari pertikaian dalam rumah
tangga. Adapun cara yang ia tempu untuk menghindari pertikaian dengan cara pergi
ke kebun. Kelihatnnya istri juga mengalami tekanan dalam rumah tangga. Istri pada saat wawancara bersamaan dengan suami, ia tidak
berani untuk mengungkapkan permasalahan yang berkaitan dengan tindakan dan
perilaku suaminya. Dikarenakan pada proses wawancara dimaksud suami tidak
membicarakan atau mengungkit hal tersebut.
Terhadap dampak yang
dialami oleh pasangan kawin antar wariwaa, terkesan
bahwa ada beberapa kejadian atau masalah yang dialami. Tergambar dalam
kehidupan, terkesan dampak yang dialami dan dirasakan, bukan hanya secara
fisiologis saja tetapi secara psikologi mereka mengalami gangguan pula. Secara
fisik dampak yang dialami oleh mereka adalah mengalami kesakitan, anak cacat,
tidak memiliki anak, anak meninggal dan pula terjadi kekerasan fisik antara
pasangan kawin antar wariwaa. Secara psikologi akibat yang didapati mengalami stres,
depresi, kecemasan yang berlebihan, kecemburuan sosial, tidak disukai oleh
orang lain, rasa penyesalan yang berlebihan.
IV.3.3
Harapan
Adapaun harapan yang
Dikemukakan oleh masyarakat Kamarian didalamnya juga pasangan kawin antar
wariwaa
“kami
harapkan kedepanya jangan ada lagi perkawinan antar wariwaa, agar jangan terjadi
masalah seperti kami berdua ini. supaya kami punya adat yang bagus ini tidak
lagi mengalami pergeseran.’’[58]
‘’Yang
menjadi harapan kami berdua sebagai pasangan kawin antar wariwaa ialah ambilah
contoh yang telah dialami oleh kami berdua supaya jangan terulang lagi oleh
kami punya saudara semua yang ada di Negeri Kamarian tercinta. kami berdua berharap
jangan ada lagi perbuatan yang merugikan diri sendiri.’’[59]
Dari data yang disebutkan
di atas ada pesan dan harapan dari pasangan kawin
antar wariwaa. Harapan yang
disampaikan tidak mengalami perbedaan tetapi arahnya yaitu janganlah ada di Negeri
Kamarian terjadi perkawinan antar wariwaa sebab dampaknya akan memberikan kesan
yang tidak baik. Kesan yang dimaksudkan ialah penilaian dari orang sekitar yang
tidak suka terhadap mereka. Selain itu harapan mereka agar tidak terjadi
pergeseran terhadap adat ini. Dan tidak dipandang sebagai orang-orang yang akan
mengubah dan melawan adat di Kamarian.
Selain harapan dari
pasangan suami istri, ada juga informan yang mengatakan bahwa
“Beta
berharap agar budaya ini tetap dilestarikan dijaga dan dilindungi, sebab, adat
ini merupakan salah satu bukti dari tete
dan nene moyang turunkan kepada kami anak
cucu semua yang ada di Negeri ini. dikarenakan Negeri ini merupakan Negeri adat
Untuk itu, jangan hanya pada perkawinan antar wariwaa saja, akan tetapi semua
aturan-aturan atau janji-janji yang moyang-moyang telah sepakati bersama”.’[60]
Data di atas dibilang
bahwa adat ini perlu dilestarikan sebagai wujud penghargaan terhadap leluhur,
sebab mereka yang memutuskan untuk membentuk hubungan kekerabatan ini. Adat wariwaa merupakan bukti sejarah yang berbudaya
dalam masyarakat sebagai pola tata kehidupan yang baik. Sebab Negeri ini
merupakan salah satu dari Negeri-negeri adat di daerah Maluku. Sebagai sosok
pemimpin yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap Negeri Kamarian Amalohi,
menurutnya untuk memelihara pranata adat wariwaa,
bukan hanya dibatasi pada perkawinan saja, akan tetapi secara totalitas dan
menyeluruh yang berkaitan dengan adat wariwaa ini sendiri, misalnya janji-janji,
aturan-aturan dan norma-norma serta hal-hal lain yang terkandung didalamnya.
“Namun
ada juga yang mengatakan bahwa harapan beta biarla adat ini tetap diceritakan
kepada anak-anak kita yang ada dalam keluarga masing-masing supaya mereka semua
mengetahui makna dari adat ini. supaya adat ini terjaga dan jangan punah”.[61]
Dari data ini harapan
masyarakat bahwa adat ini perlu dilakukan proses generalisasai atau penurunan cerita adat yang berawal dari
keluarga, sebab apabilah tidak diceritakan lambat laun masyarakat akan kurang
memaknai arti dan makna adat wariwaa
dan adanya kemungkinan akan terjadi kepunahan. Harapan-harapan ini biarlah
dapat menjadi pegangan bagi kehidupan masyarakat Kamarian untuk memelihara
nilai-nilai adat sebagai aset yang memperkaya budaya daerah Maluku secara
khusus dan Negara Indonesia secara umum.
IV.4
Wariwaa Sebagai Etika dan Norma Adatis Masyarakat Kamarian
Sebagaimana yang dibilang pada bab terdahulu,
bahwa istilah Wariwaa berasal dari
bahasa Kamarian yang terbagi atas dua kata yaitu kata wari dan waa. Wari yang artinya “adik” dan Waa yang artinya “kakak”
dengan demikian “Wariwaa” yang
diartikan dalam bahasa Kamarian yaitu hubungan persaudaraan antara “adik kakak”
yang dikukuhkan dalam sumpah dan janji secara adat oleh Para leluhur.
Adapun kata saudara yang dipakai
dalam istilah wariwaa bukan menunjuk
pada pengertian dalam arti yang sebenarnya yaitu sebagai orang-orang serahim
atau yang lahir dari satu kandungan yang sama melainkan menunjuk pada arti yang
lebih luas yaitu sebagai anggota
kelompok dan berasal dari suku atau yang sama atau sebangsa atau pula sebagai
orang-orang yang berkaitan satu sama lain. Wariwaa
merupakan adat maka tidak terlepas dari etika atau norma-norma yang berlaku
pada masyarakat atau komunitas tertentu.
Berbicara mengenai Etika asalnya
dari beberapa kata Yunani yang hampir sama bunyinya yaitu ethos dan e’thos, ethos
adalah kebiasaan, adat sedangkan e’ithos
adalah kesusilaan perasaan batin dll. Maka
Etika dalam pemakaian pada kalangan ilmu pengetahuan akan berkaitan
dengan kaidah-kaidah, norma-norma dan perbuatan manusia.[62] Etika merupakan sarana untuk
memperoleh orientasi kritis untuk berhadapan dengan berbagai moralitas yang
membingungkan.[63] Norma
adalah suatu aturan atau tatacarah yang berlaku pada suatu masyarakat atau
komunitas tertentu pada suatu wilayah atau daerah. Dan Eka Dharmaputera berpikir bahwa adat
sebagai norma, etika moral dalam kehidupan masyarakat, memiliki landasan yang
kuat, adat bersumber pada tiga elemen dasar yaitu mitos, ritus dan etika. Ritus
berfungsi untuk mengekspresikan apa yang diyakini didalam mitos, sedangkan
etika memprakteknya didalam hidup sehari-hari para penganutnya.[64]
Dengan demikian adat wariwaa adalah seperangkat aturan, cara,
tata kelakuan tentang hubungan persaudaraan adik
dan kakak yang sudah menjadi
kebiasaan atau budaya orang Kamarian, yang terdiri dari dasar dan uraian
tentang persaudaraan yang telah diangkat
sumpah oleh para leluhur. Selain itu wariwaa
diartikan sebsgai bentuk kekerabatan antara dua fam atau antara kedua matarumah
yang berbeda, matarumah atau fam yang saling menunjang berbagai bentuk
adat, khususnya adat perkawinan dll.
Hubungan kekerabatan
antara dua marga ini dipelihara dari generasi ke generasi sehingga menjadi pola
yang mengatur tata kehidupan yang berlangsung pada fam-fam atau marga-marga tersebut dalam masyarakat khususnya Negeri Kamarian Amalohi.
IV.5
Nilai Yang Terkandung Dalam Adat Wariwaa
Berdasarkan apa yang disampaikan
dalam pembahasan ini ternyata adat wariwaa
di Negeri Kamarian memiliki nilai yang terkandung didalamnya yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat setempat. Sistem nilai budaya dalam
praktek hidup orang Kamarian yang terikat dengan cara hidup setiap individu
untuk menjalankan serta tetap menjaga nilai-nilai budaya wariwaa sebagai salah satu ciri khas dari kehidupan bersama yang
juga bertujuan menjaga keharmonisan kehidupan antar fam (matarumah). Budaya wariwaa
hingga saat ini masih berlaku dan dilaksanakan oleh komunitas Kamarian karena
menurut mereka budaya tersebut berasal dari nenek moyang yang adalah leluhur
dari Kamarian, oleh karena itu sebagai penerus generasi wajib diteruskan dan
dijalankan sebagai bentuk pelestarian terhadap budaya setempat. Jika budaya wariwaa ini dilanggar dan tidak
dilakukan sesuai aturan yang ada, maka orang yang melakukan pelanggaran akan
ditimpa malapetaka yang buruk.
Nilai-nilai sosial yang mengikat budaya wariwaa dalam kehidupan orang Kamarian
antara lain, adanya keinginan untuk hidup saling menghargai satu sama lain,
juga adanya rasa tolong menolong dalam kehidupan sehari-hari, hidup kekeluargaan
dan persekutuan. Nilai-nilai sosial itu terwujud dengan baik ketika setiap
individu maupun masyarakat menjadikan budaya persaudaraan antar fam
(matarumah) ini sebagai budaya yang
memberikan makna yang tentu bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan lebih lagi
bagi kehidupan generasi selanjutnya secara turun temurun. Hidup dalam
kebersamaan juga merupakan nilai sosial yang mengikat kehidupan masyarakat
setempat, guna menciptakan kesejahteraan dalam kehidupan bersama dan dapat
diuraikan sebagai berikut
1. Hormat-menghormati
Pada
dasarnya semua orang perlu dihargai dan dihormati, berkaitan dengan hak asasi
manusia. Manusia berhak untuk dihormati dan menghormati. Begitu pula pada adat-istiadat
wariwaa di Negeri Kamarian. Hormat-menghormati berlangsung tidak memandang
muka, dalam artian bahwa secara umum entah orang itu kecil maupun besar, tua
maupun muda. Proses hormat menghormati
harus jalan tujuannya agar terbentuk pribadi masyarakat Kamarian Amalohi
yang beradab, renda hati dan berkepribadian luhur dll.
2. Nilai
tolong-menolong.
Wariwaa mempunyai andil dalam tanggung
jawab menolong keluarganya sebagai wariwaa
dalam berbagai acara. Misalnya perkawinn, acara adat dalam keluarga. Proses
tolong-menolong dilihat dalam sisi lain pada pranata adat ini ialah memberi
bantuan berupa barang, finansial dan
tenaga untuk proses pembangunan rumah dan kebun wariwaa. Tolong-menolong dalam memberi nasihat kepada wariwaa
ketika mereka ada dalam berbagai masalah kehidupan yang membutuhkan bantuan dari saudara wariwaa.
3. Nilai persekutuan dan kebersamaan
Mesti terbangun dalam kehidupan sebagai
orang bersaudara atau wariwaa. Hidup bersekutu dan bersama dalam menciptakan
kehidupan yang baik dalam keluarga. Bersekutu dan bersama untuk menjaga
ketentraman Negeri Kamarian secara khusus dan Maluku secara umum. Dan yang
terpenting sebagai orang beriman bersekutu dalam beribadah untuk memuliakan
Tuhan. Dan bersekutu bersama dalam menyelesaikan upacara adat Negeri Kamarian.
4. Nilai kekeluargaan,
Wariwaa bagi orang Kamarian adalah sutu
keluarga makro, sehingga tidak dimungkinkan terjadi sutu perkawinan. Keluarga
ibarat adik dan kakak. Kakak berhak melindungi adik, sebaliknya adik pun turut
berhak melindungi kakak. Bukan untuk dikawini. Keluarga sebagai wariwaa pada Negeri Kamarian secara
langsung menggambarkan ciri khas dan kepribadian Negeri ini.
IV.6 Implikasi
Konseling Pastoral
Berdasarkan penulisan suatu
studi kasus terhadap pasangan kawin antar wariwaa di Negeri Kamarian. Ini merupakan masalah yang serius disebabkan karena terjadi pergeseran terhadap
adat wariwaa. Masyarakat Kamarian (pasangan kawin antar wariwaa) belum memahami secara jelas
tentang eksistensi wariwaa sebagai
pranata kebudayaan atau pranata kekeluargaan. Dengan terjadinya kasus tersebut
sehingga penulis tertarik untuk meneliti tentang kasus tersebut.
Pilihan-pilihan moral yang dipilih oleh pasangan kawin antar wariwaa berdampak bagi keutuhan
rumah tangga mereka. Sehingga dari perkawinan ini menimbulkan hal-hal yang
negatif bagi diri, orang lain, keturunan dan terlebihnya bagi adat wariwaa ini sendiri. Ditemukan bahwa
dampak yang dialami oleh pasangan kawin
antar wariwaa ini bukan hanya sekedar pada keadaan fisik saja, tetapi
keadaan psikologi pun mengalami gangguan,
diantaranya ketidak harmonisan dalam rumah tangga mereka, tidak memiliki anak,
mengalami tingkatan stres, kecemburuan sosial, anak cacat, timbulnya rasa
penyesalan dan pula dipandang oleh masyarakat sebagai perusak kebudayaan.
Terhadap kasus ini, maka, perlunya dilakukan proses pendampingan konseling
pastoral.
Menurut Clebsch dan Jaekle berpendapat bahwa pastoral merupakan
serangkaian tindakan menolong yang dilakukan oleh pribadi-pribadi Kristen yang
refresentatif, diarahkan kepada penyembuhan, penopangan, pembimbingan dan pendamaian orang-orang yaag bermasalah
dan masalahnya muncul dalam konteks makna dan kepribadian yang utama.[65]
Menurut Yakub B Susabda Pastoral konseling adalah hubungan timbal balik
(interpersonal relationship) antara hamba Tuhan (Pendeta, penginjil sebagai konselor dengan konseli atau klien) dimana konselor mencoba membimbing
konselinya kedalam suatu percakapan konseling yang ideal, Sehingga konselor
betul-betul mengenal tentang apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri,
persoalannya kondisi hidupnya dimana ia berada, sehingga ia mampu melihat
tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawab kepada Tuhan dan mencoba
mendapat takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang telah diberikan Tuhan kepadanya.[66]
Karena itu pendampingan konseling pastoral yang
sesungguhnya tidak hanya dibatasi pada pelayanan ibadah saja atau rutinitas
semata pada saat-saat tertentu misalnya pada persiapan memasuki perjamuan
kudus, akan tetapi pendampingan konseling pastoral dapat menembusi aspek-aspek
kehidupan masyarakat yang merupakan bagian dari warga gereja atau anggota
jemaat. Aspek-aspek kehidupan yang dimaksudkan salah satunya adalah kebudaya.
Kebudayaan berupa adat yang dimiliki oleh
masyarakat Kamarian yaitu wariwaa.
Didalam adat wariwaa ini telah terkandung nilai-nilai konseling pastoral diantaranya menolong, membantu, menghargai,
empati dan simpati. Oleh sebab itu, Sebagai pribadi yang lahir dan dibesarkan dalam adat wariwaa di Negeri Kamarian kitapun
diajak untuk menjaga dan melestarikan adat ini, supaya tidak terjadinya
pergeseran dan kepunahan.
Karena itu pendeta atau konselor maupun gembala gereja
seharusnya mempelajari dan membekali diri dengan model-model konseling pastoral
dan pula pendekatan-pendekatan konseling pastoral. Dengan tujuannya ialah untuk
menolong pasangan kawin antar wariwaa, terhadap kasus atau permasalahan yang dialami oleh mereka
dan pasangan ini pula merupakan bagian dari anggota masyarakat atau anggota
jemaat di Kamarian.
Terhadap
permasalah ini maka salah satu pendekatan konseling yang dapat menolong
pasangan kawin antar wariwaa adalah pendekatan konseling pastoral yang dikemukakan
oleh Dr Carl Rogers yakin pendekatan yang berpusat pada manusia. Menurut Rogers
manusia memiliki kemampuan untuk melakukan segala perkara. Jadi manusia
memiliki kemampuan untuk mengembangkan dirinya sendiri. Kesadaran inilah yang dapat
menolong dia untuk menghargai perkembangannya secara wajar.[67] Dengan
adanya pendekatan ini, pendeta atau konselor atau pemerintah Negeri dapat
melihat masalah atau kasus ini. Pendeta atau konselor dan pemerintah dapat
menolong pasangan kawin antar wariwaa dengan cara memberikan bimbingan yang mengarahkan konseli
guna melakukan sesuatu yang berguna bagi dirinya sendiri. Pendekatan ini juga
menyadarkan pasangan kawin antar wariwaa untuk sadar bahwa adat wariwaa
tidak bisa di ubahkan, namun kita manusia yang harus diubah. Disisi lain
pasangan kawin antar wariwaa sebagai konseli atau klien dibimbing pula untuk memahami
keadaan yang menyebabkan ketidak bahagiaan dan mengatur kehidupannya untuk lebih baik. Perkawinan antar wariwaa bukan berarti harus terus
bermasalah tetapi perkawinan ini dapat menolong kita untuk saling mengasihi dan
bangkit dari segala keterpurukan yang
ada.
Proses pendampingan konseling pastoral ini sangat penting bagi
pasangan kawin antar wariwaa untuk
keluar dan tertolong dari kemelut hidup yang tidak terarah serta dapat mengerti
arti dari sebuah perkawinan. Pendampingan ini menjawab semua
kebutuhan-kebutuhan hidup keluarga terutama bagi pasangan kawin antar wariwaa. Dalam proses pendampingan konseling
pastoral pendeta atau konselor mendengarkan setiap apa yang diucapkan secara ferbal maupun nonferbal serta dapat merasakan apa yang dirasakan oleh
pasangan kawin antar wariwaa dalam proses pertolongan atau pendampingan.
Selain itu menurut
Mesakch Krisetya mengatakan bahwa dalam konseling perkawinan fungsi konselor
bukan “menyelamatkan pernikahan” didalam setiap kasus yang dihadapi tetapi lebih
dari pada itu menolong kedua pihak untuk menemukan dan melakukan apapun yang
bisa memberikan hasil yng terbesar dalam meningkatkan nilai-nilai pribadi yang
bersangkutan.[68]
Karena itu, bagi orang Kristen panggilan untuk melayani
bukan dasarnya bahwa orang Kristen itu baik Sebenarnya ada alasan yang asasi dari Tuhan
yang melandasi panggilan itu. Belajar dari Yesus yang pula lahir dibesarkan
pada tradisi Keyahudian, Yesus juga mewarisi semua nilai dari kebudayaan
tersebut. Namun sebagai anak Allah yang ditugaskan memberitakan kebenaran,
terkadang berbagai hal yang dilakukannya dianggap melanggar dan menodai tradisi
tersebut. Namun sebagai seorang konselor yang baik, Yesus tahu bagaimana
memberikan pendampingan terhadap orang-orang yang salah penafsiran terhadap
berbagai sikap yang dilakukannya. Sesungguhnya Ia tidak pernah merombak berbagai
tradisi keyahudian yang telah ada, namun Yesus hanya memberikan transformasi
terhadap gaya hidup yang salah dari orang Yahudi khususnya para ahli Taurat,
yang menyalahgunakan budaya atau tradisi untuk mengesampingkan berbagai nilai
yang sesungguhnnya baik, untuk membangun kehidupan yang universal dan penuh
damai sejahtera (Markus 7:1-23)
BAB
V
PENUTUP
V.1
Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan dalam penulis ini maka dapat diambil
suatu kesimpulan sebagai berikut.
1)
Adat wariwaa
merupakan warisan sejarah budaya dan tradisi yang diturunkan oleh para leluhur
(Tete Nene moyang) kepada
generasi penerus Negeri Kamarian saat ini. Melalui adat wariwaa sebagai suatu pranata
kebudayaan maka masyarakat Negeri Kamarian dapat mengenal jati diri dan
eksistensi mereka sebagai Negeri adat. Begitupula adat Wariwaa ini dapat membentuk kepribadian dan perilaku sebagai bagian
dari solidaritas hidup bergereja, berbangsa dan bernegara
2)
Nilai-nilai yang terkandung dalam adat wariwaa antara lain, adanya keinginan
untuk saling menghargai satu sama lain. Juga adanya rasa tolong menolong dalam
berbagai kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan kekeluargaan antara fam
atau clen dan terbangun suatu
persekutuan.
3)
Penyebab terjadinya “perkawinan antar wariwaa” di Negeri
Kamarian dikarenakan adanya rasa cinta kasih dan sayang yang tidak menimbangkan
hal-hal yang mengikat mereka, sehingga dapat menyebabkan tergesernya adat wariwaa di Negeri Kamarian
4)
Perkawinan
antar wariwaa di Negeri Kamarian
sangat memberi dampak yang tidak baik atau negatif bagi jalanya keutuhan
kehidupan berumah tangga. Disisi lain dampak dari “perkawinan antar wariwaa” dapat berpengharu bagi
keturunan misalnya tidak memiliki anak, anak meninggal dan terjadi cacat pada anak. Begitupula pada pasangan ini
mengalami tingkatan stres, depresi dan juga terganggunya kesehatan serta
berdampak pada hubungan mereka dengan keluarga besar serta lingkungan sekitar.
5)
Selama ini kurang adanya perhatian yang
serius dari pihak adat dan pemerinta serta gereja terhadap pasangan “kawin antar wariwaa” secara
serius, namun pelayanan yang sering diberikan oleh gereja hanya sebatas ibada
rutinitas, sedangkan dari pemerintah dan adat belum adakan sosialisasi dan
pendekatan-pendekatan tertentu.
6)
Dengan adanya pendekatan konseling pastoral
maka pasangan “kawin antar wariwaa” akan merasa adanya kepedulian dari konselor atau orang-orang
yang memiliki andil dalam masalah yang sedang dihadapi oleh mereka. Serta pasangan
ini dapat mengungkapkan perasaan, ketakutan dan stres yang ada pada mereka dan beban hidup
yang tidak sanggup ditangani oleh mereka sendiri. Maka Secara bertahap pasangan
kawin wariwaa yang mengalami kepedihan dan luka batin dapat memandang hidupnya
secara positif sehingga tidak dapat
menghalangi keutuhan kehidupan rumah tangga kedepan.
V.2
Saran
Dengan demikian, terhadap penulisan ini, maka
dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut
1.
Bagi Pemerintah dan adat lihatlah
anak-anakmu serta fenomena yang terjadi dalam hidup masyarakat, Sehingga dapat merancangkan
program yang berkaitan dengan kebudayaan dan menumbuh kebangkan adat Negeri
Kamarian.
2.
Bagi pasangan “Kawin antar wariwaa” tetaplah kuat dalam menghadapi
hidup ini dan tetaplah semangat untuk menghadapi hari hidup kedepan yang penuh
dengan rahasia,
DAFTAR PUSTAKA
1.
Buku
B. Milles Mathew , 1992, Analisis Data Kualitatif, Bumi Aksara, Jakarta
Baal
Van, 1995,Antropologi Budaya,
Gramedia, Jakarta
Cliford Greerts. 2003, Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta
Davamony Maria Susai,1993,Fenomenologi Agama-agama,Kanasius,Yogyakarta
Dessire
dan Rizal Jutrina,1993, Masyarakat dan
Manusia dalam Pembangunan, Pokok-pokok Pikiran Selo Soemarjan, Jakarta
harmaputera Eka, 1991, Konteks Berteologi Di Indonesia, ,BPK
Gunung Mulia, Jakarta
Koentjaraningrat,
Kebudayaan, 1974, Mentaliet dan Pembangunan,Gramedia,Jakarta
Miles. B. N.
Huberman. M, 1992,Analisis data
kualitatif. UI Press, Jakarta.
Hadari
Nawawi,1983, Metode Penelitian Bidang
Sosial, Gajamada Unit Pres,Jakarta
P.Tanamal,1998, Kebudayaan dan Agama versus Nihilisme,
PNRI, Ambon
Petter Wongso, 1999,
Tugas dan Missi Masa kini, SAAT
Malang
Pieter Tanamal, 1985,
Pengabdian dan Perjuangan, PNRI,Ambon
Sarjono, Bimbingan dan konseling perkawinan,
BPK Gunung Mulia, Jakarta,1999
Tomatala Magdalena,2000, Konselor
Kompeten,Pengantar Konseling Terapi
Untuk Pemulihan, Leadership Foundation, Jakarta
Trisna J A., 2000, Perkawinan Kristen Suatu Upaya
Dalam Kristen, Jakarta, Institut Teologia Dan Keguruan Indonesia
Sugiono, 2005, Memahami penelitian Kualitatif,AlfaBeta,
Bandung,.
Susabda Yakub B,1997, Pastoral Konseling, Gadung Mas, Malang
Verkuyl J, Etika Kristen,2005, bagian
umum,BPK Sunung Mulia, Jakarta,
Wattimury L,2008, Buku Ajar Anak Remaja,
Kerna Karya Caraka,Ambon
Widiarto
Tri, 2000, Kasmun Saparaus, Iman Sudibyo, Dasar-dasar
Antropologi Budaya, Jakarta
Widagdho Djoko, 2008,
Ilmu Budaya Dasar, Bumi Aksara,
Jakarta
2.
Kamus/Enslikopedi
Salim. P, 1990, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai
pustaka.
Kamus Sosiologi,2012, Aksara Sinergi
Media,surabaya
3.
Diktat
Krisetya Mesakch, 2008, Diktat Konseling Pernikahan Dan Keluarga,
Fak Teologi UKSW,Salatiga
Krisetiya, Mesakch,1999, Diktak
Psikologi Pastoral, Fak Teologi UKSW, Salatiga,
Lekatompessy.H.R,
2011, Bacaan Kulia Pastoral, STAKPN
Ambon,
4.
Website
http://id. Perkawinan menurut Hukum Adat.Html;
Internet; accessed
[1] Tri Widiarto, Kasmun Saparaus,
Iman Sudibyo, Dasar-dasar Antropologi
Budaya, 2000, 25.
[2]
Hasil Wawancara Dengan Bpk Pariama Pada tanggal 16 Agustus 2013, Pukul 19.30
[4]
Budi Susanto SJ, Kebudayaan Dan Agama,
Kansius, Yogyakarta, 1992, Hal 3
[5]
F. L Colley Mimbar dan tahta, Sinar
Harapan, Jakarta, 1993 Hal 69
[6]Koentjaraningrat,
Kebudayaan Dan Mentalitas Pembangunan,Gramedia,
Jakarta, 1994, Hal 22
[7]
Ibid Hal 19-20
[8]
Lothar Schreiner, Adat Dan Injil, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, Hal 18
[9]
Nicholas Abercombrie, Sthephen Hill,
Brian S, TummerKamus Sosiologi,
Aksara Sinergi Media, surabaya ,
2012, Hal 2
[10]W. S . Rumsawir, Makalah Injil Dalam Sejarah, GKI
Irian Jaya, hlm. 4.
[11]
E.P Gintings, Konseling Pastoral,
Pengembalaan Kontekstual, BMI, Bandung,2009, Hal 44
[12]
Ibid Hal 20, 21
[14]Dessire dan Jutrina Rizal, Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan,
Pokok-pokok Pikiran Selo Soemarjan, 1993,Hal 89.
[15]Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentaliet dan Pembangunan,
Gramedia,Jakarta, 1974, Hal 20-22.
[18]
Ibid. hal 22
[21]Maria Susai. Davamony, Fenomenologi Agama-agama,Yogyakarta, Kansius, 1993, Hal 108
[22]
Sarjono, Bimbingan dan konseling
perkawinan, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999 Hal 7
[23]
J A. Trisna, Perkawinan Kristen Suatu
Upaya Dalam Kristen, Jakarta,
Institut Teologia Dan Keguruan Indonesia, 2000, Hal 50
[26]
Bimo Wagito,Bimbingan dan Konseling
Perkawinan, Andi, Yogyakarta,2000,Hal
11.
[28]
Ibid Hal 14
[29]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalis
dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 2000, Hal 5-6
[31]
Gintings ,OP,Cit hal 13
[32]
Ibid Hal 13
[33]
Mesack Krisetiya, Diktak Psikologi
Pastoral, Fak Teologi UKSW, Salatiga, 1999, Hal 6
[34]
H.R Lekatompessy, Bacaan Kulia Pastoral,
STAKPN Ambon,201, Hal 7,12,13
[35]Yakub
B Susabda,Pastoral Konseling, Gadung
Mas, Malang, 1997, Hal 4
[36] Hadari Nawawi, Metode
Penelitian Bidang Sosial, Gajamada Unit Pres, Jakarta, 1983, Hal 63
[37]Sugiono.Memahami penelitian Kualitatif, Bandung,
AlfaBeta, 2005, Hal 66
[38]
Ibid, Hal.72
[39] Mathew B. Milles, Analisis Data Kualitatif, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, hal 15-19
[40]Marinyo
adalah pembawa pesan dari raja kepada masyarakat.
[42]
Sumber data dari Kantor Jemaat GPM
Kamarian. Tidak dipublikasikan
[43]
F Talapessy dan S Tauran, Amalohi Selayang Pandang.Suatu tinjauan Sejarah dan
Budaya,Ambon, 2004, Hal 11
[44]
Hasil Wawancara dengan Bpk Raja Negeri Kamarian J.P. Kainama, S.Sos Pada
Tanggal 07 September 2013 pukul 11.00
[45]
Hasil Wawancara dengan tokoh adat bapak D Tuaputimain , Pada tanggal 01
september 2013, Pukul 12.30
[46] Hasil Wawancara denganAnggota masyarakat Ibu
P Tomatala, Pada tanggal 03 September
2013, Pukul 16.30
[47] Hasil Wawancara dengan tokoh adat bpk A
Tuparia , Pada tanggal 01 september
2013, Pukul 09.30
[48] Hasil Wawancara dengan tokoh adat bpk E
Pariama , Pada tanggal 01 september
2013, Pukul 17.00
[49]
Hasil Wawancara Dengan Bpk N Pada tanggal
04 September 2013 Pukul 19.30.
[50] Hasil
Wawancara Dengan Ibu T (istri dari Bpk
N) Pada tanggal 04 September 2013 Pukul
20.00.
[51]
Hasil Wawancara Dengan Bpk T Pada
tanggal 05 September 2013 Pukul 18.00.
[52]
Hasil Wawancara Dengan Ibu L (Istri dari Bpk T) Pada Tanggal 05 September 2003
Pukul 18.30
[53]
Hasil Wawancara Dengan Bpk N Pada tanggal
04 September 2013 Pukul 20.30.
[54] Hasil
Wawancara Dengan Ibu T (istri dari Bpk
N) Pada tanggal 05 September 2013 Pukul
16.30.00
[55] Hasil
Wawancara Dengan Bpk N Tomatala (Masyarakat) Pada tanggal 07 September 2013 Pukul 20.30
[56]
Hasil Wawancara Dengan Bpk T Pada
tanggal 05 September 2013 Pukul 19.30.
[57]
Hasil Wawancara Dengan Ibu L (istri dari Bpk T ) Pada tanggal
06 September 2013 Pukul 10.30.
[58]
Hasil Wawancara Dengan Bpk N Dan Ibu
T (Pasangan Suami Istri) Pada
tanggal 04 September 2013 Pukul 20.30
[59] Hasil
Wawancara Dengan Bpk T Dan Ibu L (Pasangan suami istri) Pada tanggal 07 September 2013 Pukul 20.30
[60]
Hasil Wawancara dengan Bpk Raja Negeri Kamarian J.P. Kainama, S Sos Pada Tgl 07
September 2013 pukul 12.00
[61]
Hasil Wawancara dengan tokoh adat bpk A
Tuparia , Pada tanggal 01 september
2013, Pukul 09.30
[62]
J Verkuyl, Etika Kristen,bagian umum, BPK
Sunung Mulia, Jakarta, 2005, Hal 1
[63]
L Wattimury, Buku Ajar Anak Remaja,
Kerna Karya Caraka, Ambon, 2008, Hal 110
[64]
Eka Dharmaputera, Konteks Berteologi Di
Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1991 Hal 14
[65]
Mesakch Krisetiya, Diktak Psikologi
Pastoral, Fak Teologi UKSW, Salatiga, 1999, Hal 6
[66]Yakub
B Susabda, Pastoral Konseling, Gadung
Mas, Malang, 1997, Hal 4
[67]
Tomatala Magdalena, Konselor
Kompeten,Pengantar Konseling Terapi
Untuk Pemulihan,Jakarta, Leadership Foundation,2000,Hal 104
[68]Mesakch
Krisetya, Diktat Konseling Pernikahan Dan
Keluarga, Fakultas Teologi UKSW, 2008, Hal
Catatan pemilik Blogger :
Paper ini telah disahkan dalam sidang skripsi penulis untuk
memproleh gelar kesarjanaanya pada almamater tempatnya menimbah ilmu, untuk itu
pembaca yang budiman, setiap kegiatan plagiarisme adalah pelanggaran terhadap
UU No 28 Tahun 2014.
Blogger telah memperoleh ijin dari penulis untuk memposting
karya cipta penulis tanpa mengurangi atau menambahkan isi pada karya cipta
penulis sebagaimana adanya.
sebagai referensi akademis bagi setiap orang yang ingin
mengutip dan menyertakan sebagian dari karya penulis,wajib mencantumkan bahan
penulis sebagai referensi rujukan untuk karya tulisan dimaksud, agar anda tidak
dituduh sebagai plagiat